Oleh AHMAD DZAKIRIN
[Belajarlah Menghormati Pilihan Politik Rakyat]
Ada yang terasa janggal reaksi media asing (baca Barat dan Indonesia ikut-ikutan) menyikapi kemenangan fenomenal AK Parti dalam pemilu demokratis menurut standar standar Uni Eropa ini.
Sebelumnya, mereka nyinyir atas 'kekalahan' Erdogan dalam pemilu 7 Juni lalu, sehingga menyebutnya sebagai kekalahan 'Sultan Hamid III'. Jika anda Sultan Hamid II adalah benteng terakhir kekuasaan Usmani yang menolak proposal pendiri Zionisme, Theodore Herzl untuk mengijinkan migrasi massal Yahudi ke Palestina, beliau juga menggelorakan semangat Jihad melawan imperialisme, namun sang Khalifah akhirnya tumbang, maka anjloknya perlolehan suara AK Parti hingga 9 persen pada pemilu Juni menjadi 'atribusi sinistik' mereka terhadap Erdogan yang dianggap pelanjut dan setipe dengan Sultan Abdul Hamid II. Pandangan politik Abdul Hamid sama tidak disukainya dengan pandangan Islamisme Erdogan. Pasca pemilu Juni lalu, mereka sinis menyebut Erdogan "The Sultan Has Fallen Down."
Mari kita lihat propaganda The Economist dalam editorialnya tiga hari jelang pemilu, "Jangan pilih AK Parti 1 November mendatang." Benar kata Erdogan ketika menanggapi, "Apa masalah anda mencampuri urusan kami ?" The Economist lupa dua hal, pertama, dia bukan media rakyat Turki dan rakyat Turki tidak membacanya. Kedua, mereka telah meninggalkan etik pemberitaan dan secara sadar menjadi bagian dari konsertasi provokasi dan kampanye hitam. Pertanyaanya, untuk siapa?
Tidak jauh beda, Harian The New York Times mengembangkan insinuasi yang sama bahwa kemenangan AK Parti adalah kemenangan dominasi Erdogan dengan dukungan kelompok nasionalis garis keras yang hendak mengobarkan kembali perang melawan etnik Kurdi. Harian ini lupa dua hal; pertama, jika dalam pemilu 1 November ini, ada tambahan 1 juta rakyat Kurdi yang berbalik memberikan suara kepada AK Parti dan kedua, mereka menyamakan aspirasi rakyat Kurdi dengan perjuangan kelompok sosialis radikal PKK. HDP, partai Kurdi melonjak suaranya dalam pemilu lalu karena memperjuangkan otonomi bangsa Kurdi, dan bukan aksi separatisme. Turunnya suara HDP dalam pemilu kali ini terjadi karena sinyalemen tidak adanya perbedaan antara HDP dengan PKK, yang hendak menyeret Turki dalam jurang perang saudara. Jadi pilihan kaum konservatif Kurdi dalam pemilu 1 November tepat, memindahkan kembali suaranya ke AK Parti. Logikanya, "Siapa yang mau mendukung pendirian negara Kurdi berhaluan sosialis sekuler".
Dua majalah Jerman, Die Welt dan Der Spigel berturut-turut memuat editorial yang provokatif, karena menyebut hasil pemilu 1 November sebagai "Hari Hitam Bagi Turki." dan "Kemenangan Pemilu Yang Berdarah."
Problem (media) Barat yang hingga kini sulit disembuhkan adalah perasaan superioritas, merasa lebih baik dan lebih berpengetahuan sehingga cenderung pongah dan tidak mau tahu, termasuk belajar menghormati pilihan politik rakyat Turki. AK Parti menang spektakuler hingga 50 persen, perolehan yang sulit dicapai partai-partai modern di Barat (dengan sistem multi partai).
Padahal, tidak ada blanko (politik) kosong bagi Erdogan maupun AK Parti karena dalam kenyataannya mereka telah beberapa kali menghukum Erdogan dan AK Parti, diantaranya dalam pemilu lokal 2008 dan pemilu parlemen 7 Juni yang lalu. Mayoritas mereka memiliki preferensi politik Islam, namun mereka tidak sungkan meninggalkan Erdogan jika dipandang tidak becus dan mengecewakan. Hanya saja, siapa mau memberikan suara kepada partai-partai dan tokoh-tokoh politik tidak kredibel di Turki, selain Erdogan dan AK Parti. Disinilah sisi rasionalitas dan sekaligus pragmatisme pemilih Turki. Maka be Grown Up man....
Namun yang lebih menjengkelkan adalah mental inferiority media kita yang cenderung tidak kritis. Lihat Kompas dan Republika. Untuk media sekelas Kompas gagal memahami pilihan demokratis rakyat Turki sehingga memasang judul, "Rakyat Turki Takut dengan Kemenangan Erdogan".
Sama tapi tak serupa. Republika memasang berita Erdogan menangkapi para pengikut ulama kharismatik Fethullah Gulen, sehingga memberi kesan yang salah, tanpa memberi alasan yang memadai latar panjang alasan penangkapan anggota "Parallel Structure" ini. Kelompok negara dalam negara yang sulit diterima masyarakat demokratis yang berdiri diatas transparansi dan akuntabilitas. Lantas, siapa yang mempengaruhi Republika? []
*dari fb Ahmad Dzakirin (5/11/2015)