[REVIEW] 'Film 3' Anggy Umbara, Dakwah & Revolusi Perfilman Indonesia


Sedikit cerita dari film 3; Alif Lam Mim, yang saya tonton..

Film “3; Alif Lam Mim”, bisa saya sebut film idealis, kritis, dan skeptis. Semoga tak berlebihan jika sang sutradara, Anggy Umbara, saya anggap sebagai anti tesis Hanung Bramantyo. Bisa juga saya simpulkan, film 3 ini adalah cara Anggy Umbara mengekspresikan idealismenya untuk merombak pandangan mainstream pada isu besar di awal abad 21.

Sebelumnya saya pernah membayangkan sebuah film, bahkan ide ceritanya pun pernah coba saya tuliskan, tentang terbongkarnya operasi rahasia aparat negara yang ternyata bermain dibalik aksi terorisme demi sebuah kepentingan politik sekelompok oknum. Cerita yang masih khayalan ini ternyata saya temukan di film 3. Meski tujuan cerita sama, film khayalan saya ini memiliki alur cerita dan gaya yang berbeda. Cerita saya lebih meniru film Jason Bourne dengan 3 sekuelnya; Identity, Supremacy, dan Ultimate (yang Legacy agak kecewa). Tapi, apa yang saya khayalkan itu memang masih sebatas khayalan, belum mungkin menjadi film, hehe.

Beda pengkhayal, beda pekerja sutradara beneran. Anggy Umbara yang juga menjadi penulis cerita, bisa mewujudkan impian melahirkan film laga futuristik dengan gaya dystopian, dan perspektif cerita anti mainstream. Selama ini ide-ide cerita perfilman banyak dikuasai kalangan yang “merasa terzalimi”, atau kalangan pembela “kebebasan” yang ragu akan kebenaran absolut. Di Film ini, justru Anggy Umbara mengkritik pandangan pembela minoritas itu dengan gayanya.

Berlatar tahun 2036, Indonesia berada pada masa pasca revolusi. Ide liberalisme berhasil menguasai negara setelah berpuluh-puluh tahun lamanya terjadi konflik berdarah antara kelompok radikal dengan liberal. Islam yang awalnya mayoritas, di tahun tersebut menjadi minoritas. Banyak ulama dibunuh oleh aparat tanpa melalui persidangan dengan tuduhan terorisme. Dengan lugas, lafal-lafal dialog para tokoh mengucapkan banyaknya masjid-masjid yang dijadikan gudang, bahkan terlihat menjalankan sholat saja sudah dianggap ekstremis. Pakaian jubah ala arab dilarang ditempat-tempat umum. Masyarakat yang tetap ingin menjalankan Islam dengan taat terkumpul dalam satu distrik yang dinamankan distrik 9 dan memiliki sebuah pesantren yang bernama Al Ikhlas.

Ada penggalan ucapan menarik dari tokoh yang bernama Lam, “Pembela minoritas dulu menjual slogan kebebasan, begitu menjadi mayoritas menginjak yang sekarang minoritas.” Juga dimunculkan ucapan sinis dari salah satu tokoh berpenampilan ‘radikal’, “Katanya negara liberal, bebas, tapi kita memakai baju begini saja dilarang.” Dan berbagai dialog lainnya yang kental dengan nuansa kritis dan skeptis.

Tiga tokoh utama di film ini bernama Alif, Lam dan Mim. Bertiganya adalah sahabat yang saat kecil pernah terdidik di pesantren. Alif memilih bergabung ke detasemen khusus karena dendam terhadap kelompok radikal yang telah membunuh orang tuanya. Lam berkarir menjadi jurnalis. Kemudian Mim memilih mengabdi di pesantren karena cita-citanya ingin mati khusnul khatimah. Pesantrennya Mim inilah yang bernama Al Ikhlas. Pesantren yang dijadikan operasi terkahir detasemen khusus untuk melenyapkan Islam di Indonesia.

Meski Alif menjadi alat negara yang ditugaskan untuk memberangus kelompok radikal hati nuraninya mulai terbuka ketika ia menemukan kejanggalan. Begitu juga Lam, yang sulit diberi tugas menulis ketika tak sesuai hati nuraninya. Pimpinan Lam sampai mengatakan kepada Lam, kalau dia ketahuan publik masih sholat maka tulisannya sulit dinilai obyektif. Sang sutradara juga tak meninggalkan bagian-bagian adegan romantik yang menambah kayanya jalan cerita.

Hati nurani Alif dan Lam yang membuka mata mereka bahwa aksi-aksi pengeboman para teroris yang dituduhkan ke pesantrennya Mim perlu diungkap kebenarannya. Berkat mereka bertiga yang ahli bela diri, terungkaplah misi busuk dibalik detasemen khusus. Bagaimana proses terungkapnya, dan apa misi busuk dari kesatuan itu, silakan tonton saja film ini. Gak seru kalau saya ceritakan.

Film ini memang penuh dengan aksi bela diri dengan banyak memainkan slow motion effect. Aksi-aksi yang dibubuhi musik aliran Nu Metal dari Purgatory menambah karakter dramatisnya yang maskulin. Hanya saja, jika membandingkan film ini dengan kelas Holywood akan mengecewakan. Apalagi membandingkan dengan The Matrix, jauh! Soal visual teknik bela diri masih unggul The Raid. Begitu juga gaya dystopian yang masih jauh kualitasnya bila membandingkannya dengan sekuel The Hunger Games, Divergen, atau Mad Max Fury Road. Jadi, maklumkan saja.

Saya juga maklumkan jika film-film Indonesia seperti ini penonton sedikit. Ketika menonton film ini semalam, dari 204 kursi hanya terisi 15 saja. Selain kurang publisitas, film ini nampak belum dihargai. Bisa jadi akibat faktor alur cerita yang tak memikat dan sinematografi futuristik yang belum memuaskan, juga penonton film Indonesia yang (mungkin) masih mental inlander, hehe. Yang penting, film-film seperti ini harus di hargai dengan tidak menonton gratisan. Cukup produksi holywood saja yang nunggu keluar downloadan gratis.

Terakhir, ada sebuah ucapan menarik dari tokoh inti antagonis yang muncul di akhir cerita. Ia adalah otak dari semua rencana makar. Sebatas ingatan saya, semoga tidak salah, ia berucap bahwa untuk mencapai sebuah titik keseimbangan dalam mewujudkan perdamaian, perlu diciptakan sebuah musuh agar lahir pahlawan sehingga masyarakat akan berlindung dan percaya kepada sang pahlawan. Penguasa dan alatnya yakni detasemen khusus, yang dijadikan pahlawan. Agama dijadikan musuh karena hanya mengganggu titik keseimbangan itu. Maka, agama harus dilenyapkan.

Sekali lagi, ini film keren sekali. Berharap menjadi revolusi perfilman Indonesia.

Salam,
@RidwanHd

NB: Review lainnya (“Dakwah Anggy Umbara Melalui Film Alif Lam Mim”)


Baca juga :