Kabut Asap dan Politics of Denial


Ahmad Dzakirin

Politics of denial adalah penolakan secara politik untuk bertanggung jawab atas suatu tindakan atau kejadian yang berhubungan secara langsung maupun tidak.

Biasanya, dilakukan dalam dunia intelejen saat melakukan false-flag operation. Ketika terbongkar, pemerintah secara formal tidak mengakui atau bertanggung jawab atas insiden politik, walau boleh jadi pelbagai bukti keterlibatan saling terhubung satu sama lain. Yang penting, tidak pernah mengakuinya karena pemerintah secara etik tidak boleh melakukan tindakan melawan atau berada diatas hukum (beyond law).

Pemerintah Jokowi tampaknya bertindak sama. Pemerintah menetapkan akuntabilitas publik dalam perspektif operasi intelejen. Tidak mengakui bahwa kematian (beberapa) bayi karena faktor musibah kabut asap, namun disebabkan kelemahan fisik dan faktor lain.

Tidak perlu mencari bukti apakah faktor penyebab kematian karena ISPA yang disebabkan kabut asap ataukah faktor lain. Faktanya, bayi yang meninggal tadi hidup dalam lingkungan yang sangat berbahaya dalam standar kesehatan selama berbulan-bulan.

Cara pandang yang tidak empatik hanya akan semakin melukai perasaan rakyat yang sangat menderita karena kabut asap. Namun, keenganan pemerintah untuk mengakui implikasi kesehatan, sosial dan ekonomi karena kabut asap adalah bentuk kegagalan serius pemerintah dalam berkomunikasi dan mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat.

Dalam standard good governance, performan pemerintah tidak diukur dari berapa besar upaya pemerintah mengatasi masalah, namun dari seberapa efektif penanggulangannya. Dalam konteks ini, rejim Jokowi gagal mengatasi masalah kabut asap dan cara mudah untuk mengelaknya, adalah dengan politics of denial.

Hanya saja, pemerintah salah memperlakukan rakyatnya secara benar, tidak dengan akuntabilitas, namun dengan metode dan standar operasi intelejen. Rejim Jokowi tidak bertanggung jawab atas implikasi yang terjadi maupun ketidakmampuannya melakukan mitigasi bencana.[]


Baca juga :