REZIM POMPA AIR


[REZIM POMPA AIR]
Krisis dan resesi ekonomi itu seperti bencana kekeringan. Kalau sekadar untuk mengairi beberapa ratus hektare sawah, kita bisa mengerahkan mesin pompa, mulai dari ukuran kecil hingga raksasa. Namun kita tak bisa menggunakan cara tersebut sepanjang waktu, apalagi untuk menyelamatkan jutaan hektare lahan. Secara ekonomi, cara itu jelas muspro.

Itu sebabnya, meski hasilnya baru bisa dipetik dalam jangka panjang, cara terbaik untuk mengatasi kekeringan adalah dengan menjaga vegetasi yang ada di sekitar kita, dan menjaga keseimbangan lingkungan ekologis. Mengubah daerah serapan air di lereng pegunungan untuk menjadi industri properti, sekali waktu mungkin menguntungkan, tapi dalam jangka panjang jelas merupakan bencana.

Nah, dalam ekonomi, vegetasi tadi tak lain adalah ekonomi rakyat, sektor riil yang menggerakkan dan digerakkan oleh rakyat, dan lingkungan ekologis tadi adalah struktur perekonomian, yang menandai bagaimana hubungan dialektis antara sektor dalam negeri dengan luar negeri, relasi sektor besar dengan sektor kecil, yang formal dengan informal, atau sejenisnya, dimana relasinya harus dijaga tetap konstruktif, bukan eksploitatif.

Ikhtiar pemerintah melalui sejumlah proyek deregulasi, pelonggaran keran investasi, menambah jumlah utang luar negeri, serta asyik meliberasi arus modal dan tenaga kerja asing untuk mengatasi krisis, tak ada bedanya dengan mendatangkan pompa sebanyak-banyaknya untuk mengatasi kekeringan tadi. Pada saat yang bersamaan, pemerintah membiarkan vegetasi 'ekonomi rakyat' terus kekeringan likuiditas serta kehilangan daya saing dan daya beli akibat dicabutnya berbagai subsidi penting pada tahun lalu.

Sebagaimana halnya cara mengatasi global warming bukanlah dengan menghidupkan AC, begitu juga dengan cara mengatasi kekeringan, bukanlah dengan pompa air.

*dari fb Tarli Nugroho (15/9/2015)


Baca juga :