Jaksa Agung Mesir akan menyeret Ketua Persatuan Ulama Sedunia (al-Ittihaad al-'Aalami li' Ulama'i al-Muslimin) kelahiran Mesir Syaikh DR Yusuf Qaradawi (89 tahun)-yang telah lama bermukim di Qatar- dan beberapa pemimpin Ikhwanul Muslimin lainnya ke pengadilan militer untuk menghadapi tuduhan pembunuhan.
Dalam pernyataan yang dikeluarkan hari Sabtu (5/9), Jaksa Agung mengatakan para terdakwa dituduh "membunuh seorang pejabat keamanan dan menargetkan lembaga dan warga masyarakat dengan bekerja sama dengan agen keamanan" ("killing a security official and targeting public institutions and citizens cooperating with security agencies"). Demikian lansir Middle East Monitor (MEMO), Ahad (6/8).
Sementara pernyataan itu tidak mengatakan berapa banyak anggota Ikhwanul akan diadili dalam kasus ini, kantor berita resmi Mesir MENA menempatkan angka pada 53.
Sejak pertengahan 2013, ketika Mohamed Morsi -presiden yang dipilih secara demokratis pertama Mesir dan pemimpin Ikhwanul- digulingkan oleh militer dibawah komando Jenderal Abdel Fattah As-Sisi, kelompok Islam telah menjadi target dari tindakan keras oleh pemerintah Mesir di mana ratusan anggota IM telah tewas dan puluhan ribu dilemparkan di balik jeruji besi.
Pasca kudeta terhadap Mursi, organisasi Ikhwanul Muslimin itu dicap sebagai "organisasi teroris" oleh pemerintah kudeta Mesir. Sejak itu, sebagian besar pemimpin kelompok ini telah ditahan setelah dituduh - sering dengan sedikit bukti- terlibat dalam tindak kekerasan.
Ikhwan telah secara konsisten membantah tuduhan-tuduhan tak berdasar dan tanpa bukti itu.
Pertengahan Tahun lalu, Presiden kudeta Abdel Fattah al-Sisi menyetujui undang-undang yang memungkinkan individu yang dituduh melakukan pelanggaran terhadap lembaga negara harus diseret ke pengadilan militer.
Langkah ini secara luas dikritik oleh organisasi hak asasi lokal dan internasional, yang menyatakan keprihatinan bahwa terdakwa tidak akan menerima pengadilan yang adil.
Ikhwan Tolak Jalan Kekerasan
Dalam video baru-baru ini diposting di YouTube, Ibrahim Munir, wakil pemimpin Ikhwanul Muslimin, menegaskan penolakan kelompoknya terhadap cara-cara kekerasan.
Namun demikian, Ibrahim menyatakan cara damai menentang rezim kudeta militer "tidak berarti hanya tinggal di rumah".
"Sebaliknya," kata Munir, "itu berarti terlibat dalam protes terhadap rezim yang berkuasa," yang, ia melanjutkan untuk menegaskan, "adalah (aksi tersebut sebagai) pengikisan secara cepat -secara sosial, ekonomi dan dalam hal popularitas rezim kudeta".
***
Inikah "ISLAM MODERAT" ala A-SISI???