Ahmad Dzakirin
Penulis buku dan Pengamat Timteng
Aylan Kurdi dan ribuan jasad pengungsi yang terapung di laut Mediteranian adalah bencana kemanusiaan karena kebencian, permusuhan, egoisme dan ketidakpedulian akut dunia Islam.
Ketika Turki tidak sanggup lagi menanggung beban lebih dari 2 juta pengungsi. Sebagian pengungsi tersebut tidak hanya menjadi beban ekonomi pemerintah, nanun juga problem sosial di Turki, ketika mereka mengisi sebagian jalanan dan pusat keramaian di Istanbul sebagai pengemis, belum lagi, 'growing trouble' bagi penduduk asli karena faktor-rivalitas ekonomi. Beberapa gesekan sosial kini tengah terjadi.
Jika Erdogan marah dengan Barat maka saya memahaminya. Erdogan telah menjalankan peran kemanusiaannya dengan baik. Pemerintah Turki tidak menutup perbatasannya bagi pengungsi yang menyelamatkan diri dari kebrutalan perang, sekalipun secara faktual, problem tersebut diluar kemampuan Turki untuk menanganinya.
Namun saya sulit mencerna dengan akal sehat sikap ignorance negara-negara Teluk atas tragedi ini. Mereka (dan AS dan negara-negara Barat juga ikut berperan) menyiramkan api peperangan, namun mereka enggan dan tidak peduli atas implikasinya.
Ini pertanyaan Afzal Ashraf di Aljazeera:
"Bukankah para raja dan pangeran ini memiliki kekayaan berlimpah, membangun gedung-gedung pencakar langit, istana-istana yang bergelimang kemewahan dan tempat-tempat ibadah yang spektakuler?
Negeri-negeri itu tidak akan kehabisan ruang dan pekerjaan untuk sekedar berbagi dan menampung para pengungsi. Kenyataanya, mereka telah mengimpor jutaan profesional dan tenaga kasar dari seluruh dunia untuk melayani gaya hidup dan ambisi mereka? Di negara-negara tersebut jumlah ekspatriat lebih banyak dari warga negaranya sendiri."
http://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2015/09/refugee-crisis-gulf-countries-150905085458691.html
Laman Huffington Post mengungkap sedikit kapasitas ekonomi negara-negara Teluk dan gaya hidup para pangeran super kaya tersebut.
Coba lihat biaya lobby Uni Emirat Arab dan gaya hidup sang duta besar, Yusuf Otaiba untuk mendukung kebijakan agresif negaranya yang disebut Washington berdiri diatas dua hal; ANTI IKHWAN dan IRAN.
Katanya, "AS harus super hati-hati sebelum mendukung perubahan rejim di Timur Tengah untuk alasan HAM. Sekali anda mencabut dukungan atas orang-orang kuat di Mesir, Tunisia dan Suriah maka Ikhwan yang akan menggantikannya."
Total biaya lobby UEA di 2013 ditaksir 14,2 juta dollar, itu diluar sikap murah hati sang pangeran, dimana ratusan juta dollar dikucurkan untuk membantu lembaga-lembaga sosial di AS. Dia menggelontorkan dana sebesar 3 juta dollar untuk Clinton Foundation dan lewat jasanya, yayasan kanker yang dikelelola anchor berita FOX News yang dikenal anti Islam mampu meraup dana 150 juta dollar dalam waktu singkat.
Dia dipuji para selebritis AS, sebagai sosok yang sangat trengginas, bergerak cepat dengan uang yang tak terbatas. "Orang yang tidak akan dilewatkan untuk hadir dalam pesta anda". Bergaul dengan semua elit politik dan selebritis AS, serta kerap kali memberangkatkan mereka ke Dubai untuk sekedar berpesta di istana sambil menonton grand prix formula one.
Otaiba bahkan berkarib dengan Ron Dermer, Duta Besar Israel untuk AS. Mereka bersepakat untuk semua hal, kecuali isu imigran Palestina. Konon, saat Netanyahu berpidato di Konggres, dia diundang khusus Dermer untuk menemuinya. Namun, menolak karena dipandang sensitif.
Namun, boleh jadi, jutaan imigran yang satu ras (etnik) dengan para pangeran ini tidak cukup menggerakkan belas kasih mereka, karena mungkin tidak memberatkan timbangan politik bagi negeri-negeri kaya minyak ini, kecuali sebaliknya beban sosial dan ekonomi. Mereka hanya memahami satu kepentingan, menyingkirkan semua anasir yang dianggap ancaman bagi eksistensi monarki dan gaya hidup extravagant mereka. Dua hal tersebut kini bermetamorfosis menjadi 'kebijakan luar negeri'.
http://highline.huffingtonpost.com/articles/en/his-town/
Wallahul Mustaan.