Oleh Ahmad Dzakirin
Pengamat Timteng
Tidak dapat dipungkiri konflik di Timur Tengah menjadi political chip bagi manuver Israel dan kelompok radikal Yahudi.
Ambisi Israel kini hampir tidak ada contender, pembalikan arah politik (political turnround) pasca Arab Spring tidak hanya berimplikasi kepada kegagalan demokrasi di Timur Tengah, namun lebih parah, dunia Arab menghadapi friksi dan kekacauan internal yang tidak terkendalikan. Perang Yaman, Suriah, Irak, Lebanon dan blokade Palestina. Sumber daya negara-negara Arab dan Turki terkuras menghadapi ancaman domestik ketimbang sumber problem eksternal, pendudukan Israel dan ketidakadilan global.
Dua isu terakhir, hampir gagal disikapi secara proporsional dunia Islam dan komunitas internasional, ancaman ISIS sama jahatnya dengan kekejian Bashar Assad yang mengusir rakyat sendiri untuk mempertahankan hampir 5 dekade kekuasaan Dinasti Assad yang berasal dari minoritas Syiah Alawi, dan problem kemanusiaan tidak berujung di Palestina karena blokade Israel dan Mesir. Ancaman Palestina pasca Arab Spring tidak lagi, Israel, namun negara-negara Arab (Teluk) yang khawatir dengan kebangkitan Ikhwan.
Karena itu, pembalikan arah (democratic roadmap) Timur Tengah menuju chaos, anarki dan perang saudara dapat dibaca dua hal;
Pertama, upaya penggagalan Ikhwan sebagai 'the greatest political benefficiary' Arab Spring. Ikhwan akhirnya terjungkal di Mesir, terisolasi di Yordania dan Yaman, serta gagal menjadi elemen terpenting kelompok oposisi moderat karena manuver (mantan) kepala intelejen Saudi, Bandar bin Sultan.
Kedua, Israel ,memanfaatkan kevakuman politik Arab, menekan Palestina dan memperluas cengkeraman wilayah pendudukan melalui perluasan pemukiman dan ekskavasi Masjidil Aqsha melalui kartu truf radikal Yahudi. Targetnya, membagi tempat suci ketiga umat Islam dengan Yahudi. Kini momentumnya.
Dan benar, hampir tidak ada resistensi Arab dan dunia Islam, kecuali Yordania dan Turki. Yordania karena secara formal, Dinasti Hasyimiyyah adalah penanggung jawab Masjid Aqsha, dan kedua, seperti biasanya Turki dibawah kepemimpinan Erdogan.
Namun, diprediksikan, hampir tidak ada tekanan lebih besar dari sekedar 'political condemnation' karena kondisi internal Arab dan dunia Islam. Tidak ada lagi manuver sekelas Mavi Marmara, 2010 atau gangguan berarti HAMAS, Hizbullah atau kekuatan bersenjata lainnya.
Sebagai kalkulasi politik, rejim fundamentalis Netanyahu tahu kapan merealisasikan ambisi regional negara Zionis tersebut tanpa begitu banyak kerugian dipihaknya. Let the enemy's hands work for their own destruction. Mungkin ini idiom yang tepat.
Sayang...