Sabtu (5/9/2015) kemarin, Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan mengadakan pertemuan dengan sejumlah tokoh agama, pejabat pemerintah dan aparat keamanan di Tolikara. Pertemuan itu dilakukan guna membahas proses rekonsiliasi dan persiapan Hari Raya Idul Adha 1436H di Tolikara.
Sejumlah tokoh yang hadir dalam pertemuan itu adalah Bupati Tolikara Usman G Wanimbo, Ketua Tim Pemulihan Pasca Bencana Tolikara Pdt. Edi Tangek Rasak, Pendeta GIDI Imanuel Ginungga, Komandan Kodim (Dandim) 1702/JWY Letkol (Inf) Aidi, dan sejumlah tokoh lainnya.
Dilansir Kiblat.net, tokoh Islam Karubaga, Kabupaten Tolikara, Ustadz Ali Muchtar menegaskan bahwa dalam pertemuan itu pihak Gereja Injili di Indonesia (GIDI) meminta tiga syarat jika kaum Muslimin Tolikara ingin berlebaran Idul Adha.
“Pertama, mereka minta nama baik Gereja Injili di Indonesia (GIDI) dibersihkan,” ujar Ustadz Ali saat dihubungi Kiblat.net melalui sambungan telepon pada Sabtu, (05/09).
Pasalnya, pihak GIDI mengaku sejak meletusnya Tragedi Tolikara pada saat perayaan Idul Fitri, nama GIDI menjadi kurang baik.
Kedua, GIDI minta dua tersangka yang ditangkap oleh Polda Papua segera dibebaskan. Ketiga, GIDI minta kasus ini diselesaikan secara adat, tidak menggunakan hukum positif.
“Jika ketiga hal itu dipenuhi, barulah kaum Muslimin bisa berlebaran (Idul Adha). Tapi jika tidak dipenuhi maka mereka tak bisa memberikan jaminan,” ujar Ustadz Ali Muchtar.
Juru Bicara TPF Tolikara Mustofa B. Nahrawardaya menegaskan permintaan bersyarat GIDI terkait proses perdamaian di Tolikara merupakan permintaan konyol.
“Pertama, soal pembersihan nama (GIDI). Ini tentu tidak mungkin dilakukan oleh negara. Karena kalau ini dipenuhi permintaan konyol ini, maka nanti semua organisasi-organisasi teror itu akan melakukan hal sama, itu implikasinya,” ujar Mustofa saat dihubungi Kiblat.net pada Ahad, (06/09).
“GIDI ini kan sudah jelas membakar masjid, menebar ketakutan di masyarakat. Sudah pasti pelakunya ada, videonya ada. Tidak bisa ditangkal kan,” ujar aktivis muda Muhammadiyah ini.
Kedua, soal permintaan pembebasan kedua tersangka provokator Tragedi Tolikara, menurut Mustofa juga sangat tidak mungkin dipenuhi. Pasalnya, dalam bukti video penyerangan jemaah shalat Idul Fitri pada 17 Juli 2015 lalu ada 200 orang penyerang yang terekam dalam video.
“Pelakunya itu 200 orang yang di rekaman video, sedangkan yang ditangkap baru 2, masih ada 198 orang yang belum ditangkap. Masih ada lagi pengurus GIDI yang belum ditangkap, masih ada lagi organisasi GIDI yang belum dibekukan, masih ada lagi rekening GIDI yang harus dibekukan pula. Masih ada lagi jaringan mereka yang perlu dipangkas supaya tidak membesar di Indonesia,” tandasnya.
Ia menambahkan, tidak mungkin jika para pelaku-pelaku itu dibebaskan. Justru yang di inginkan oleh umat Islam, agar semua pelaku dan aktor intelektualnya ditangkap untuk memberi efek jera dan tidak dilakukan di lain waktu.
Adapun, lanjut Mustofa, permintaan ketiga terkait penyelesaian Tragedi Tolikara secara hukum adat bisa dilaksanakan bersamaan dengan penegakan hukum positif.
“Dua-duanya dilakukan, hukum positif juga dilakukan. Saya sudah biasa meneliti di papua, karena itu kalau ada orang nabrak orang, dia dihukum positif juga yaitu di sidang di pengadilan, tapi juga disuruh melakukan mengganti dengan babi, jadi dua-duanya dilakukan.
Ditegaskannya, hukum positif harus ditegakkan seiring dengan hukum adat. Sebab, hukum adat itu hanyalah soal ikatan local wisdom (kebudayaan tempatan, red).
“Di Indonesia juga sering kok orang berbuat pidana kemudian dia melakukan perdamaian. Ini sebenarnya hukum adat, dia memaafkan pelakunya, tetapi hukum positif tetap berjalan. Artinya gak ada balas dendam,” pungkas Mustofa.
*Sumber: kiblat.net