TAK MASAK, TAK MASALAH
Ustadz M Ihsan Abdul Djalil*
Menjelang berangkat haji, banyak yang menyarankan agar kami membawa beras dan siap memasak, khususnya pas di Makkah. Kalau di Madinah dapat jatah makan dua kali, yaitu siang dan malam. Tidak masak juga cukup, apalagi menu makan malam seringkali nasinya berlebih. Bisa dimakan besok paginya, tinggal beli lauknya.
Awalnya kami agak terprovokasi. Sempat mau beli perlengkapan masak segala. Tapi injury time, saat packing koper, kami berdua memutuskan tidak usah bawa beras, apalagi perlengkapan masak-memasak.
Kami tidak mau direpotkan urusan masak-memasak. Kalau butuh makan ya tinggal beli. Toh kami berdua bukan orang yang suka pilah pilih menu makanan. Apa saja dimakan. Nggak ada pantangan. Kalau ditanya teman, apakah punya pantangan makanan? Sambil berkelakar saya jawab, "Ada pantangan sih. Dokter melarang makanan yang nggak enak-enak". Hehe...
Begitulah. Kami berdua berangkat haji tanpa bawa perangkat memasak. Di Madinah, untuk sarapan pagi, kadang kami beli nasi bungkus harga 3 riyal. Itu nasi sedikit, dengan telur rebus separuh, dan mie. Kadang pilih nasi goreng, yang porsinya juga mini. Mungkin karena porsinya yang sedikit itu, sering disebut nasi kucing.
Kalau mau agak baik menunya, bisa ke restoran Bakso Malang, di hotel sebelah hotel kami. Makan berdua juga sekitar 20 riyal.
Di Makkah, teman-teman yang memang niat memasak mulai mengeluarkan aneka peralatan masak dari koper. Kalau pun nggak bawa, bisa beli di toko dekat maktab. Semua maktab dilengkapi fasilitas toko Indonesia. Aneka sayur dan buah dijual di sini, juga tempe, mie, tahu, telur, dan lain-lain. Malah ada yang juga jualan Obat Mandul, Ati Onta, Rumput Fatimah, Obat Kuat, dan lain-lain. (Obat Kuat itu maksudnya apa agar kaki kuat dipakai jalan thawaf dan sai ya? Hehe)
Tiap pagi saya melihat teman tetangga kamar masak besar. Menunya lengkap: krengsengan, empal, kadang sayur sop, pecel, pokoknya komplit. Kadang kami bingung, kapan belanjanya, kapan masaknya? Kok ini baru pulang dari masjid sudah siap semuanya.
Adapun saya dan istri, karena nggak masak, ya nggak usah belanja. Pulang dari masjid nggak perlu sibuk masak, dan habis makan nggak perlu repot nyuci peralatan. Semua jadi lebih simple. Mau menu Indonesia ada seabrek. Perantauan dari Madura benar-benar membantu kami dari kelaparan. Apa saja menu makanan Indonesia, dijual oleh pendatang dari Madura ini, di depan maktab kami. (Baca tulisan lain: UNTUNG ADA ORANG MADURA).
Kalau pas di area Masjidil Haram, jauh dari maktab, kami tinggal tunjuk saja mana yang dimaui. Mau menu Italia bisa. Yang khas Turki juga ada. Makannya duduk lesehan di halaman masjid, berdua, sambil memandangi langit Makkah yang cerah. Saya belum pernah berlibur dengan istri ke luar negeri, jadi anggap saja ini sedang holiday ke Italia atau Turki, hehe...
Setelah kenyang, kami naik bis, pulang ke maktab, dan bisa langsung istirahat.
Saya tidak melarang Anda yang mau berhaji membawa peralatan dan memasak sendiri. Kalau memang siap dengan konsekwensinya, ya silakan saja: belanja, masak, makan, nyuci piring.
Saya hanya ingin memberi opsi lain, bahwa kalau nggak sempat masak atau nggak mau repot urusan dapur, juga baik-baik saja kok. Semua ada. Semua bisa dibeli. Toh, jamaah haji juga dibekali living cost 1.500 riyal.
Kalau sudah begini, yang namanya living cost itu memang benar-benar bermanfaat untuk living. Bukan untuk belanja oleh-oleh pesanan tetangga atau saudara.
Catatan ini juga sekaligus konfirmasi awal, bahwa kemungkinan besar kami tidak belanja banyak oleh-oleh, sepulang dari Makkah dan Madinah nanti. Jadi... ojongarep [dot] com. Hahaha...
Makkah, 15 September 2015
(keterangan foto: Toko Indonesia di maktab jamaah haji Indonesia, di Makkah)
*dari fb Ustadz M Ihsan Abdul Djalil