Sandyawan Soemardi: Problem Kampung Pulo Bukan Soal Uang atau Ganti Rugi, tapi Soal Harga Diri
Nama lengkapnya Ignatius Sandyawan Soemardi. Orang-Orang di sekitar Kampung Pulo menyapanya dengan sapaan Romo Sandy. Alumnus Seminari Kentungan Yogyakarta ini dikenal oleh warga bukan saja karena peranannya selama kurang lebih lima belas tahun dalam kerja pengadvokasian masyarakat miskin kota di wilayah bantaran Kali Ciliwung, khususnya di wilayah Bukit Duri dan Kampung Pulo melalui Yayasan Ciliwung Merdeka, melainkan juga karena kedekatannya dengan agamawan kharismatik setempat, Habib Soleh Bin Husin Al-Idrus.
Pengalaman bertahun-tahun dalam kerja sosial di wilayah yang sama membuat ia paham benar problem yang dihadapi masyarakat Kampung Pulo dan sekitarnya. Maka, ketika terjadi penggusuran yang berujung pada bentrok warga melawan aparat gabungan di Kampung Pulo pada 20 Agustus lalu, pria 56 tahun ini menjadi salah satu narasumber utama yang dicari wartawan.
Sehari setelah peristiwa tersebut, beredar viral di media sosial yang mengungkapkan kemarahan pria yang ditahbiskan sebagai Pastor Jesuit tahun 1988 itu karena keterangannya banyak dipelintir media.
Esoknya, saya membuat janji wawancara dengannya untuk menanyakan secara langsung kerumitan yang terjadi dalam masalah Kampung Pulo. “Iya Mbak Azka, saya tunggu jam 4 di Sekretariat Ciliwung Merdeka, ” tulisnya melalui pesan seluler. Ia menganggap saya seorang perempuan. Sekretariat tersebut berada di daerah Kebon Pala Jatinegara Jakarta Timur. Mendapat kepastian, saya segera menghubungi GM Nur Lintang Muhammad untuk bersiap-siap. Islam Bergerak (IB) akan mengadakan liputan siang itu.
Kami diterima tepat pukul 4 sore di kantor berdesain ruko berukuran 6×12 yang yang sepertiga bagian depannya disekat untuk ruang tamu. Hal pertama yang ia katakana kepada kami adalah bahwa ia ingin dipanggil Bapak. “Saya sekarang sudah bukan Romo,” ujarnya pelan sambil tersenyum. Senyumnya sedikit berat. “Sudah beberapa hari ini kawan-kawan kurang tidur.” Meskipun demikian, ia berbicara kepada kami dengan suara bariton yang jelas dengan aksen Jawa yang kental.
IB: Bisa diceritakan awal mula kedekatan Bapak dengan masyarakat Kampung Pulo?
S: Saya bergelut di bidang kemanusiaan sudah lama. Rumah saya di Bukit Duri. Saya hadir di sini, di Sanggar Ciliwung, mulai tahun 2000. Mendirikan sekolah alternatif, perpustakaan, mengadakan pendidikan lingkungan, dan kesehatan.
Saya mengerti bahwa untuk mengubah suatu lingkungan harus ada perubahan, yang pertama mental, orangnya, komunitasnya, SDMnya. Kedua, sistem sosialnya. Ketiga, lingkungan fisik. Maka kami yang sebelumnya fokus pada komunikasi sosial, akhirnya merambah soal lingkungan dan tata ruang. Kami mulai berpikir dampak dari banjir, perumahan, pemukiman yang padat sekali dan relatif miskin—urusan-urusan tata ruang. Awalnya kami melayani masyarakat di tujuh RT di bukit duri, yakni di RT 05, 06, 07 RW 12 dan tiga RT di Kampung Pulo, yakni RT 09, 010, 011 RW 03.
IB: Bagaimana cara Bapak merangkul masyarakat Kampung Pulo?
S: Kami menggunakan model pendidikan alternatif. Kami juga menggunakan teater musikal. Karena kami menemukan ternyata remaja, anak-anak muda mudah tergerak dengan pola-pola seperti itu. Bisa dibilang kami lebih dekat dengan orang mudanya.
Pendidikannya sangat sederhana. Saya mengutamakan komunitas harus mendidik anak-anaknya sendiri. Karena kalau mahasiswa kan paling hanya dua tahun, kemudian pergi. Yang masih TK diajar oleh yang SD, SD oleh SMP, SMP oleh SMA, SMA oleh Perguruan Tinggi, dan seterusnya. Tapi mereka benar-benar jadi guru. Kalau ada volunteer dari luar, mahasiswa, ya tambahan saja. Dan itu relatif berhasil. Yang menarik, dengan cara sesederhana itu, ada saling mendukung di dalam proses pendidikan, kemandirian.
Di sini kami menggunakan sistem belajar problem solving education, pendidikan hadap masalah. Karena kita tahulah, pendidikan fomal sekolahan itu hanya berapa persen pengaruhnya dalam hdup. Hidup lebih banyak dididik di jalan. Maka banyak sekali bentuk pendidikan yang saya cari itu yang otentik. Misalnya dalam teater musikal ini, kita anti nyontek, mulai dari lagu-lagu harus buat sendiri, gerakan tari, teater juga otentik bikin sendiri. Bahkan ada semacam anti terhadap lagu-lagu cengeng, sinetron. Sudah ada lebih 300 lagu-lagu ciptaan.
Oh ya, kami itu kan gerakan kemanusiaan ya, tidak berbasis agama tertentu. Masyarakat di sini mayoritas muslim. Pernah dalam suatu waktu di antara kami hanya berdua, bertiga yang non muslim. Bahkan di bukit duri saya membangun mushalla.
Anak angkat saya ada 14. Saya angkat sejak umur 5, 6 tahun. Ada yang sejak bayi, sejak saya membantu kelahirannya di gerobak sampah. Sekarang sedang ia kuliah di akademi maritim.
Anak-anak di sini pinter kebanyakan kalau mau belajar. Dan syukurlah, mereka mandiri, dan ndak mau ikut-ikutan sehingga bebaskan dari problem narkoba. Saya melakukan putus generasi. Sudah habis.
IB: Berarti sebelumnya di Kampung Pulo banyak pemakai narkoba?
S: Oh, banyak. Itu kan daerah Bronx ya. Terkenal daerah gali. Kalau sekarang tidak ada lagi tawuran. Dulu kalau tawuran pakai panah api. Taksi itu, kalau supirnya yang tua-tua, ndak berani masuk karena kenangan dulu di sini daerah gali. Gali-gali dicari petrus. Dulu ada yang dieksekusi sampai enam peluru.
Sehingga teman-teman di situ kalau bertato disangkanya saya yang mengkoordinir. Hahaha. Maksud saya, mereka itu, ternyata kalau dijumpai manusianya, sama seperti kita, persis ndak ada bedanya.
IB: Bagaimana keadaan masyarakat Kampung Pulo secara ekonomi?
Mereka bisa dibilang economy survival. Masyarakat di sana kebanyakan bekerja di sektor informal. Kami (Ciliwung Merdeka) pernah memetakan kegiatan-kegiatan sektor informal. Di sana ada 32 jenis sektor informal yang sudah berjalan selama, ada yang 50 tahun, 40 tahun 10 tahun, dan 2 tahun. Mereka hidup, tapi tidak maju amat. Cuma saya kaget ketika dipetakan, daerah mata rantai persebarannya hampir seluruh Jakarta. Seperti pabrik tahu dan tempe, jualnya sampai ke Tanjung Priok. Lalu jasa potong ayam, mebel-mebel bekas, roti, makanan dan jajanan khas betawi.
IB: Mayoritas masyarakat bekerja di sektor informal. Itukah yang sebenarnya menjadi pertimbangan Bapak ketika menolak penggusuran, lalu mengusulkan kampung susun. Dan itu juga kah yang membuat Bapak sepertinya menolak apartemen yang menjadi model rumah susun?
S: Bukan sekedar itu. Saya sudah berkeling di banyak tempat dan baru tinggal di daerah sini tahun 2000. Sejak tahun 90an sebetulnya saya mengurus masyarakat miskin urban, terutama korban-korban penggusuran. Misalnya saya pernah telibat penelitian dengan Mbak Palupi (Sri Palupi) dari The Institute for Ecosoc Rights. Ternyata di Jakarta itu setiap tahun antara 3000 sampai 7000 KK digusur paksa tanpa diberi alternatif. Sehingga tahun 2003 Indonesia mendapat award dari COHRE, organisasi internasional yang fokus terhadap pengungsi dalam negeri, Internal Displace Persons, karena Indonesia memiliki jumlah pengungsi tertinggi dalam negeri akibat penggusuran-penggusuran, terutama di Jakarta.
Tentu faktornya penyebabnya banyak. Kemiskinan, karena ekonomi, ketiadaan akses, karena stigma-stigma sosial politik ekonomi, terutama ketiadaan akses, dijauhkan dari modal, ketidakadilan di dalam perebutan modal. Toko-toko kecil melawan mall, pokoknya pusat-pusat pertokoan itu. Sektor informal banyak yang kalah. Jadi hidupnya bergerilya.
Sektor informal itu seperti jamur, serba tidak pasti, dibiarkan terserak. Pmbiaran dari pemerintah juga ada. Tapi selalu kalah setiap kali ada perebutan-perebutan. Keprihatinan saya sesungguhnya sederhana. Apakah selalu, kalau ada upaya untuk pembangunan kota, kota superblock Jakarta meniru New York, meniru Singapore, itu harus membongkar perkampungan-perkampungan yang diidentifikasikan sebagai kumuh. Kemudian dibersihkan orangnya. Jadi kita tidak suka terhadap kemiskian.
Saya pun tidak suka terhadap kemiskinan. Hanya orang gila yang suka dengan kemiskinan. Tapi menjadi benci kepada orang miskin, itu aneh sekali. Yang miskin dapat stigma. Harus terusir. Sehingga ketika berdiri satu bangunan yang megah, yang kokoh, dengan beton-beton raksasa, mall dan sebagainya, tidak dipikirkan ke mana perginya orang-orang miskin itu.
Saya banyak sekali bersahabat dengan pemimpin-pemimpin lokal dari masyarakan miskin kota di Jakarta yang sudah mengalami penggusuran tujuh sampai sepuluh kali di Jakarta hidupnya. Pindah sana pindah sini seperti balon ditiup. Di waduk pluit sana atau di taman BMW sudah 13 kali mengalami penggusuran dan pembakaran. Dulunya itu untuk hutan kota. Terus ada upaya pemerintah kota untuk membangun. Karena belum jalan oleh warga ditek-tekin. Yang datang belakangan jadi penyewa. Terus ada rencana untuk bangun gedung olahraga tingkat internasional. Setelah digusur, ada gedung olahraganya sih, tapi ukuran sekian hektar. Akhirnya di situ ada perebutan sekitar tujuh sampai developer untuk membangun mall. Orang miskinnya yang sudah puluhan tahun di situ, diusir semua. Masak selalu harus begitu? Kota menjadi steril dari orang miskin
Dan di negeri ini, ada tradisi berabad-abad yang namanya kampung. Kehidupan kampung. Kota modern yang ideal, di seluruh dunia secara universal, yaitu kota kampung. Kota kampung itu tidak selalu menghindari modernisasi dan bisa dikelola secara modern. Tetapi interaksi sosialnya kuat. Ada kohesi sosial model tradisional pedesaan yang dipertahankan, keragaman, kehidupan spiritual, dipelihara dalam bentuk-bentuk suasana bangunan. Ada banyak hal dari segi struktur tata bangunan, tata kota itu yang mengindahkan semua itu, jadi kota yang beradab. Prinsipnya sekarang kan kota itu harus humanopolis, artinya kota yang manusiawi, kota itu mesti ekopolis, yang berwawasan ekologi, lingkungan, tapi juga yang kota yang demokratis. Demokratis itu adil.
Artinya ruang publik itu bukan monopoli atau menjadi tempat bercokolnya kaum elit. Sekarang banyak sekali tuh, untuk kepentingan umum, padahal itu orang kaya. Orang miskinnya diusir demi kepentingan umum. Atau akan digunakan untuk kepentingan umum, ternyata untuk lapangan tembak militer. Akhirnya diserahkan ke perusahaan. Dipakai sebentar saja oleh militer. Itu terjadi di mana-mana di seluruh Indonesia.
Tanah di Kampung Pulo ada dasarnya. Verponding (Eigendom Verponding), sistem kepemilikan dari zaman belanda, sah didukung oleh UU agrarian tahun 1960 (Undang-Undang Pokok Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960). Itu bisa girik, pajak bumi, bisa letter C, bisa jual beli di bawah tangan, tapi itu surat resmi. Harusnya pemerintah itu memfasilitasi melalui PRONA (Program Operasi Nasional Agraria) untuk menjadi sertifikat resmi. Secara hukum, harusnya gratis. Tapi dalam praktek, seperti di kampung pulo, kemarin Ustad Kholili ke sini, biaya untuk peningkatan sertifikat itu 30 juta. Bayangkan buat orang-orang dengan kehidupan itu. Sejuta sebulan aja susah. Kalau bayar 30 juta untuk surat tanah. Itu substansi problem Kampung Pulo, problem status tanah. Bukan ganti rugi, bukan rumah susun, salah itu.
IB: Tiga puluh juta itu membayar ke oknum?
S: Ke oknum. Tapi mereka mengaku resmi lo. Dan banyak sekali permainan-permainan lain. (Misalnya,) formulir-formulir itu (jual beli tanah) sejak awal ditulis tanah negara. Itu yang digunakan oleh Ahok untuk bukti di youtube. Formulir dari pemerintah untuk jual beli. Meskipun sebelumnya, baik Lurah maupun Camat yang menandatangani bisa digugat karena menjual tanah negara. Menjual tanah negara harus izin DPR. Ahok tahu itu. Itu kan lurah yang dulu, sudah dipecat, katanya. Ini de facto sebenarnya terjadi di mana-mana.
IB: Lalu konsep kampung susun itu sendiri seperti apa?
S; Yang kami usulkan itu kampung susun berbasis komunitas sebagai situs budaya keanekaragaman budaya Jakarta. Karena menurut sejarah, kampung ini sudah ada sejak tahun 1930.
Rumah susun itu seperti kandang burung merpati, tinggi lurus. Seperti apartemen. Kalau kampung susun itu mengikuti kontur tanah, tinggi rendahnya. Sehingga banyak sekali, yang paling mendasar, norma sosial, fasos-fasumnya itu lebih terbuka untuk peningkatan komunikasi dan kohesi sosial masyarakat. Jadi ada pasar tradisionalnya. Meskipun bukan berarti tidak rapi. Sangat rapi. Dengan arsitektur modern. Apalagi yang pasang surut itu. Bukan hanya ahli geologi saja yang mendesain, tapi juga ahli hidrologi.
Dari kiri: Habib Soleh (tokoh waaga Kampung Pulo),Ustad Holili (Ketua LMK Kampung Melayu},Subandi (perwakilan warga RW 03, Vera W. Soemarwi (Tim Advokasi Ciliwung Merdeka), I. Sandyawan Sumardi (Direktur Ciliwung Merdeka) [sumber: http://ciliwungmerdeka.org/siaran-pers-ciliwung-merdeka-dan-mitra/] |
IB: Lalu apakah sesungguhnya warga menolak normalisasi, atau seperti apa?
S: Warga tidak menolak normalisasi. Yang ditolak proses penjelasannya yang berubah-ubah. Peraturan Gubernur ( Pergub 190/2014) belum dicabut. Soal ganti rugi. Tiba-tiba Gubernur takut digugat menteri keuangan kalau memberikan uang pada orang yang tidak punya sertifikat dan IMB. Banyak sekali bangunan tidak memiliki IMB. Kenapa tidak didiskreditkan seperti penjahat? Yang mereka keberatan itu karena perlakukan tidak adil. Hanya karena tidak punya IMB mereka dianggap seakan-akan kriminal, mereka dibilang seolah-olah liar, illegal. Perlakukan itu yang mereka tolak. Ini problemnya, bukan masalah ganti rugi berapa. Banyak di antara mereka bilang bahwa seandainya tidak ada ganti rugi tidak masalah. Yang kami mau pertahankan adalah status tanah dengan data verponding. Karena kalau ini saja hilang, apalagi yang mendasar? Jadi mereka itu melihat ke depan. Sudah senang sekali warga kampung pulo, kami berkeliling 3 RW, dengan rencana Gubernur tanggal 24 Juli yang akan ganti tempat tinggal. Bukan ganti uang.
IB: Bukannya ini yang disediakan oleh pemerintah?
S: Itu bukan milik sendiri. Sewa. Menurut Gubernur itu bukan nyewa. Tapi biaya operasional. Tapi sampai kapan? Karena tidak ada sertifikat yang dimiliki, kan tidak bisa dipegang. Saya membayangkan seandainya itu terjadi pada diri saya sendiri. Semua orang secara mendasar pasti memiliki keinginan untuk memiliki. Semua orang yang sehat. Jadi jangan dianggap orang-orang sederhana itu perasaannya lain dengan kita.
IB: Apa yang diinginkan warga itu sudah disampaikan ke Gubernur?
S: Ya, dan Gubernur setuju. Tapi kemudian Gubernur bertindak sendiri dengan alasan bahwa tanah itu tanah negara. Tapi yang aneh begitu dikatakan bahwa ini tanah negara, stop tidak ada komunikasi lagi. Saya tidak mau berkomunikasi dengan kamu. Dan mendatangkan mesin gusuran. Mesin itu bukan hanya Bego. Polisi, Satpol PP, Tentara, itu mesin. Termasuk Walikota. Ketika ditanya, menjawab, saya hanya bertugas. Tidak ada yang menjelaskan. Tidak ada yang mempunyai inisiatif. Semua berbicara bagaikan robot. Dan itu yang sulit. Karena yang bertemu dengan warga itu ya mereka ini. Sehingga warga berbicara dengan mesin. Itu melukai hati warga. Semua berbicara tidak mempunyai otoritas. Saya hanya diperintah-saya hanya diperintah. Yang Satpol PP bilang disuruh Kepala Satpol PP. Kepala Satpol PP bilangnya Walikota.
IB: Perubahan sikap Ahok kalau itu tanah negara kapan?
S: Tgl 4 Agustus ketika saya mendampingin 10 perwakilan warga bertemu dengan gubernur di balai kota. Ada Habib Soleh, Ustad Kholili, Ustad Malik. Ada Bu Evi, ketua RT.
IB: Terakhir, warga yang menolak tinggal di rumah susun dan rumahnya sudah dihancurkan itu kira-kira ke mana?
Ya ke mana-mana. Tapi saya kira mereka akan tahan lah. Sebetulnya itu bukan masalah. Orang mesti melihat psikologi massa. Jangan dilihat letterlijk ini masalah uang. Ini problem harga diri, rasa dimanusiakan. Bahasanya memang ganti rugi, tapi bukan. Pemerintah hanya melihat begitu saja. Seperti halnya begini ini. Seakan-akan yang diganti itu fisik kan. Bangunan sama tanah. De factonya yang hilang. Soal akses. Akses ekonomi yang dibangun sudah puluhan tahun. Akses kesehatan. Kemudahan komunikasi, akses sosial, akses budaya. Hilang. Mau pindah sekolah anaknya. Bayar lagi. Transport lebih jauh. Lebih asing. Terasa asing dengan lokasi baru. Itu biaya.
Kemudian, kalau yang dulu bisa pakai kayu, sekarang harus pakai gas. Harga gas tinggi banget. Hal-hal seperti itu, perubahan-perubahan kultur dan sistem nilai itu tidak sederhana pada beberapa orang. Selalu orang bilang, “harus menyesuaikan dong dengan zaman modern.” Kalau punya biaya. Kalau orang tidak punya biaya susah. Tanya saja kepada orang tua kita di kampung-kampung. Suruh pindah ke tempat baru di kota dengan suasana modern. Insecure itu ada. Bahasa itu yang susah disampaikan oleh masyarakat. Dan susah dipahami oleh para pejabat Pemprov yang teknokraris. Semuanya seakan-akan selesai dihitung dengan manajemen. Termasuk manusia dihitung dengan angka. Padahal itu ada nafasnya. Pikirannya. Otaknya. Hatinya. Itu yang susah dipahami.
Sebetulnya seandainya bahasa ini ditangkap saja. Persoalannya relatif sederhana. Semua ingin sama-sama membangun lingkungan kota yang bersih, rapi, sehat, manusiawi, ramah lingkungan, tidak buang sampah sembarangan, sanitasi bagus. Semua ingin.
Saya kira bohong bahwa masyarakat Kampung Pulo ingin hidup di lingkungan sekarang ini. Orang gila yang ngomong begitu. Tidak ada. Saya kan kenal dengan mereka puluhan tahun. Saya hidup di Bukit Duri tujuh tahun. Saya hidup dan makan seperti mereka. Daya tahan mereka luar biasa. Saya baru dua tahun kena bakteri ecoli, maag bertahun-tahun. Lha mereka tinggal bertahun-tahun ndak papa.
Sumber: http://islambergerak.com/2015/08/sandyawan-soemardi-problem-kampung-pulo-bukan-soal-uang-atau-ganti-rugi-tapi-soal-harga-diri/