Oleh: Harits Abu Ulya*
Presiden Joko Widodo (Jokowi) diberitakan kembali mengusulkan pasal Pasal Penghinaan Presiden ke DPR dalam RUU KUHP. Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang disodorkan Presiden Jokowi ke DPR berbunyi:
“Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV”
Ruang lingkup Penghinaan Presiden diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264:
“Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.”
Terkait rencana pemerintah mengajukan RUU KUHP dalam program legislasi tahun 2015, salah satu pasal didalamnya adalah soal penghinaan Presiden yang kemudian melahirkan perdebatan pro dan kontra. Maka berikut saya sampaikan perspektif kritis sekaligus nasehat terkait masalah tersebut:
Dalam kehidupan sosial politik seorang pemimpin di cintai atau dibenci oleh rakyatnya adalah suatu yang lumrah.
Seorang pemimpin tidak bisa memaksa setiap individu agar mencintainya, demikian pula ia tidak bisa mencegah rakyat agar tidak membencinya. Meskipun sejatinya sebaik-baik pemimpin adalah yang dicintai rakyatnya dan rakyat mendoakan kebaikan bagi dirinya bahkan rakyat berdiri rapi dibelakangnya untuk mendukung, membela dan menolong pemimpin jika dibutuhkannya.
Begitu juga seorang pemimpin yang baik adalah ia mencintai rakyatnya seperti halnya ia mencintai dirinya sendiri. Ia akan mengurus, mengayomi, dan memelihara urusan rakyatnya semaksimal pikiran, tenaga, waktu dan jiwa yang ia punya.
Dalam tiap lantunan doa ia sebut rakyatnya agar memperoleh anugrah kebaikan hidup dunia akhirat.Ia akan sedih jika rakyatnya dalam kesedihan.
Karena itu seorang pemimpin yang amanah tidaklah sibuk dan peduli soal bagaimana menjaga wibawa wajah kekuasaan dengan beragam piranti hukum dan ancaman terhadap rakyatnya.
Karena esensi kekuasaan adalah amanah, maka ia akan lebih sibuk bagaimana mewujudkan keadilan, kesejahteraan, rasa aman dan terpenuhinya semua kebutuhan asasi rakyatnya secara proporsional. Dengan begitu rakyat akan mencintainya, karena ia amanah dengan kekuasaan dipundaknya.
Meski akan selalu ada sebagian rakyat yang membencinya bahkan menghinakannya. Namun demikian sungguh sikap amanah dan tegaknya keadilan ditengah- tengah rakyatnya akan menjadi dalil dan obat atas tiap kebencian itu. Bahkan rakyat akan berbondong-bondong menjadi perisainya hingga tidak ada tempat dan kawan bagi para pendengkinya.
Maka dari filosofi ini, rencana pemerintah mengajukan RUU KUHP dengan memasukkan pasal penghinaan presiden yang bersifat delik aduan yang sebelumnya masuk delik umum adalah langkah tidak bijak. Kenapa seolah menjadi hal urgen untuk menjaga wibawa dan wajah kekuasaan dibanding harus fokus bekerja yang bisa melahirkan kecintaan rakyat kepada pemimpinnya.
Jika tidak ingin dibenci dicaci bahkan dihina maka jadilah pemimpin yang adil, jangan khianat, jangan menipu rakyat bahkan mendzalimi rakyat. Sehebat apapun dan seadil apapun seorang pemimpin, ia masih butuh orang lain untuk melihat kekurangan dan kelemahan dirinya.Dan ia lebih mengedepankan rasa mengayomi dan mendidik dibanding hukuman dan ancaman kepada rakyatnya.
Maka masuknya pasal penghinaan presiden dalam RUU KUHP yang usung pemerintah sangat berpotensi terjadinya “abusse of power” (penyalahgunaan kekuasaan). Dan pengalaman masa orba yang diktator sudah cukup bagi rakyat Indonesia dan tidak perlu terulang kembali.Jika hari ini RUU tersebut dipersoalkan dan tahun sebelumnya tidak maka inilah realitas politik, ia dinamis seiring dengan kesadaran politik dan kecerdasan politik rakyat melihat satu persoalan.
Oleh karena itu, pemerintah tidak usah memaksakan diri untuk sibuk menjaga wibawa kekuasaan karena rakyat butuh keadilan.
Dan jika keadilan seperti yang di inginkan rakyat terealisir maka dengan sendirinya wibawa dan kharisma kekuasaan akan inheren pada diri pemimpinnya. Semoga para pemimpin sadar akan hal ini.*
*Penulis adalah Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA)
Sumber: Hidayatullah.com