Pasal Penghinaan Presiden, Pakar Hukum: Dalam UU, Presiden Bukan Simbol Negara


Pakar dan Pengamat Hukum dari Universitas Trisaksi, Abdul Fikar Hajar mengatakan pasal penghinaan presiden tidak tepat bila dihidupkan kembali. Sebab menurutnya presiden bukanlah simbol suatu negara.

Ia menjelaskan, berdasarkan pasal-pasal yang dianut oleh Undang Undang Dasar 1945 tugas seorang Presiden sebagai kepala negara serta kepala pemerintahan dan bukan merupakan simbol negara.

Presiden bertugas memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Kekuasaan presiden pun dibatasi oleh konstitusi dan pengawasan dilakukan oleh parlemen.

Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2009 yang menjadi simbol negara adalah bendera, bahasa, dan lambang Negara  yang disebut dalam lagu kebangsaan bahwa  lambang negara ialah garuda pancasila.

"Selama ini, telah berkembang presepsi yang salah seolah-olah Presiden adalah simbol suatu negara. Sehingga pasal penghinaan presiden tidak tepat bila dihidupkan kembali," kata Abdul Fikar, Jumat (7/8), seperti dilansir ROL.

"Presiden itu bisa berganti ganti orangnya dan penghinaan itu tidak jelas definisinya sehingga bisa disalahgunakan oleh presiden sebagai penguasa. Karena itulah MK membatalkannya," lanjutnya.

Pasal penghinaan presiden yang selama ini ada juga merupakan warisan dari masa kolonial Belanda yang menganut sistem parlementer. Bertolak belakang dengan Indonesia yang menganut sistem presidensial.

Dalam sistem parlementer yang dianut oleh Belanda, Raja dan Ratu merupakan simbol negara sehingga harus dilindungi serta dijaga martabatnya menggunakan pasal penghinaan.

Sedangkan di Indonesia yang menganut sistem presidensial, pasal penghinaan presiden berpotensi menjadi tameng pemerintah yang berkuasa untuk menghalau kritikan tajam.

Hal senada diungkapkan oleh Yusril Ihza Mahendra. Pakar hukum tata negara ini mengungkap sejarah kelam kelahiran pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pasal tersebut semula bertujuan untuk melindungi Ratu Belanda dari hinaan pribumi saat masa penjajahan Belanda di tanah air puluhan tahun lalu.

"Tapi setelah kita merdeka, dianggap (pasal penghinaan) bisa berlaku untuk presiden. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal itu," kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/8).

Seperti diketahui, Pemerintah Joko Widodo menginginkan pasal penghinaan terhadap presiden masuk ke dalam revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) melalui Pasal 263 ayat 1 RUU KUHP yang juga diajukan Jokowi ke DPR yang berbunyi "Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden atau Wakil Presiden, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

Ruang lingkup Penghinaan Presiden pun diperluas lewat RUU KUHP Pasal 264 yang berbunyi setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, yang berisi penghinaan terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isi penghinaan diketahui atau lebih diketahui umum, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.


Baca juga :