Mengenang 2 Tahun "Tragedi Rabia" Pembantaian 1000 Lebih Pendukung Mursi


Hari ini, Jumat 14 Agustus 2015, bertepatan dengan dua tahun terjadinya pembantaian terhadap demonstran anti-kudeta pendukung Presiden Muhammad Mursi.

14 Agustus 2013, tepat dua tahun lalu, rezim kudeta As-Sisi melakukan pembantaian pendukung Mursi yang bertahan di lapangan Rabi'ah Al-Adawiyah. Lebih dari 1.104 gugur sebagai syuhada.

[Di akhir artikel ini kami sertakan video yang berisi foto-foto dan lagu RABIA dari munsyider berbagai pelosok dunia yang akan membuat dada bergemuruh, menangis, haru, sedih sekaligus bangga]

Latar Belakang

Tragedi demokrasi di Mesir, sebenarnya bisa dirujuk sejak kekuasaan Husni Mubarak yang berkuasa selama selama 30 tahun dengan tangan besi. Mubarak akhirnya terpaksa mengundurkan diri pada tanggal 11 Februari 2011 karena tuntutan rakyat Mesir yang digelar di seantero Mesir sejak tanggal 25 Januari 2011 tak terbendung lagi. Meskipun aparat keamanan mencoba menghentikan dengan berbagai cara, mulai dari kekerasan hingga penutupan akses komunikasi, tapi aksi massa tak kunjung berhenti dan semakin meluas.

Pada masa pemerintahan Mubarak (1981-2011), berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia sering dilakukan oleh negara untuk membungkam oposisi. Menurut laporan Human Rights Watch 2010, pada tahun 2009 saja diperkirakan ada 5000-10.000 orang yang dipenjarakan tanpa pengadilan. Al Ikhwan Al Muslimun, populer dikenal sebagai Ikhwanul Muslimin (IM), adalah kekuatan oposisi utama Mesir yang pada periode tersebut bergerak di bawah tanah karena dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

Berbagai inisiatif untuk menentang kekuasaan otoriter Mubarak sebenarnya sudah dilakukan sejak sebelum 2011. Pada tahun 2004, gerakan Kefaya (Cukup Sudah) digelar oleh para aktivis dari berbagai spektrum ideologi yang menentang kecenderungan Mubarak untuk menyiapkan anaknya Gamal Mubarak sebagai pewaris kepemimpinan politik Mesir. Gerakan Kefaya sempat membesar pada tahun 2005, namun pada akhirnya surut seiring dengan kuatnya represi aparat negara.

Pada tahun 2010, kematian seorang pemuda Mesir bernama Khaled Saeed memicu kembali gerakan-gerakan protes yang diawali dari media sosial. Saat revolusi meletus di Tunisia dan berhasil menggulingkan Zine El Abidine Ben Ali yang telah berkuasa 23 tahun, gerakan protes terhadap pemerintah Mesir semakin mendapatkan momentum. Setelah demonstrasi besar pada tanggal 25 Januari 2011 disikapi secara represif, perlawanan terus berlanjut dan membesar. Mubarak menawarkan berbagai konsesi, termasuk menjanjikan tidak akan maju lagi sebagai presiden pada pemilihan umum selanjutnya, namun gerakan perlawanan tidak berhenti. Mubarak akhirnya mengundurkan diri pada tanggal 11 Februari 2011.

Mubarak menyerahkan kepemimpinan politik kepada Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF). Ragu dengan komitmen SCAF pada demokrasi, massa terus berdemonstrasi menuntut militer untuk menarik diri dari politik dan segera menyelenggarakan pemilihan umum.

Pemilu dan Pilpres Demokratis Pertama

Atas desakan publik yang terus menerus, pemilihan umum untuk memilih anggota parlemen akhirnya diselenggarakan pada bulan November 2011 hingga Januari 2012. Pemilihan umum tersebut mengantarkan Aliansi Demokrasi untuk Mesir yang dipimpin oleh Partai Kebebasan dan Keadilan (Freedom and Justice Party (FJP), sayap politik IM) memenangkan kursi terbanyak (235 kursi). Peringkat kedua diraih oleh Blok Islamis yang dipimpin oleh Partai Al Nour (kelompok salafi, 121 kursi). Sementara itu, partai-partai sekuler (Nasseris, Sosialis, Liberal, dan anasir rezim lama) mendapatkan hasil yang kurang memuaskan.

Selanjutnya, pemilihan Presiden yang dilangsungkan selama dua putaran menunjukkan persaingan ketat antara Muhammad Mursi yang didukung oleh FJP (peringkat pertama putaran 1 dengan 24,78% suara) dan Ahmad Syafiq yang dianggap sebagai bagian dari rezim Mubarak (peringkat kedua putaran 1 dengan 23,66% suara). Mursi memenangkan pemilu presiden putaran 2 dengan 51,78% suara (Syafiq mendapatkan 48,27% suara). Saat memenangkan pemilihan umum, Mursi menjanjikan untuk melibatkan berbagai kelompok dalam pemerintahannya.


Kepemimpinan politik Mesir setelah pemilihan umum demokratis pertama berjalan dengan tidak mulus. Hal ini dikarenakan fragmentasi antara kelompok-kelompok revolusioner yang sekuler dan kelompok Islam membelah panggung politik Mesir. Sementara itu, kekuatan rezim lama (sering disebut “deep state”) pun masih bercokol di birokrasi negara. Benturan demi benturan kemudian terjadi di antara kekuatan-kekuatan tersebut.

Pada tanggal 14 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi Mesir membubarkan Parlemen. Sebagai akibatnya, Ahmad Syafiq yang merupakan pejabat pada masa Mubarak dapat maju sebagai kandidat Presiden. Padahal kondisi seperti ini terlarang menurut Undang-Undang yang dibuat oleh Parlemen hasil pemilu yang dibubarkan. Kelompok-kelompok Islam dan sekuler yang pro demokrasi mengecam pembubaran tersebut sebagai upaya rezim lama untuk kembali berkuasa.

Peristiwa pembubaran parlemen ini juga yang membuat IM dan Mursi merasa khawatir bahwa upaya perumusan konstitusi baru akan digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi Mesir yang merupakan peninggalan dari masa Mubarak. Dengan alasan untuk melindungi proses tersebut sebagai amanat Revolusi, pada bulan November 2012 Mursi mengeluarkan Dekrit Presiden yang memberinya wewenang besar yang menempatkannya dalam waktu sementara tidak dapat disentuh hukum untuk melakukan langkah-langkah “yang diperlukan untuk melindungi Revolusi.” Kelompok-kelompok sekuler menentang keras dekrit tersebut dengan keluar dari tim perumus konstitusi. Dekrit Presiden ini dipandang oleh kelompok-kelompok tersebut sebagai upaya IM untuk menguasai politik Mesir. Demonstrasi-demonstrasi pun digelar untuk memprotes dekrit tersebut. Aksi-aksi inilah yang kemudian berevolusi menjadi gerakan Tamarrud (pembangkangan) yang menuntut Mursi mundur.

Kudeta Militer Terjadi 

Tepat di masa satu tahun pemerintahan Presiden Mursi, sekitar 500.000 rakyat Mesir melakukan demonstrasi di Tahrir Square. Tuntutan mereka adalah meminta Presiden Mursi untuk mundur dari posisi sebagai Presiden. Militer merespon demonstrasi dengan mengeluarkan ultimatum terhadap Presiden Mursi. Ultimatum yang dikeluarkan oleh Jenderal Abdul Fatah As-Sisi tersebut berisi bahwa dalam 48 jam, Presiden Mursi harus mencari solusi atas demonstrasi yang dilakukan oleh gerakan Tamarrud. Pengamat melihat bahwa ultimatum ini adalah sinyal bagi militer untuk melakukan kudeta dikarenakan tidak mungkin untuk menghasilkan rekonsiliasi nasional dalam waktu 48 jam.

Kekhawatiran ini terbukti setelah militer melakukan kudeta terhadap Presiden Mursi pada tanggal 3 Juli 2013. Jenderal As Sisi mengumumkan bahwa posisi Presiden Mursi telah digantikan oleh Presiden sementara Adly Mansour yang sebelumnya menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi dan ditunjuk Hazem Al Beblawi sebagai pejabat Perdana Menteri (PM) Mesir menggantikan PM Hisyam Qandil. Digulingkannya Presiden Mursi diikuti dengan dibekukannya konstitusi Mesir, akan diadakannya pemilihan umum yang dipimpin oleh pemerintahan sementara, penangkapan dan diberlakukannya larangan perjalanan (travel ban) bagi petinggi Ikhwanul Muslimin, penutupan sejumlah media Mesir, dan pembubaran Majelis Syuro (MPR).


Rakyat yang menentang kudeta merespon tindakan anti-demokrasi dari militer Mesir melalui kudeta dengan melakukan aksi bertahan (sit-in) di Rab’ah Al-Adawiyah wilayah Nasr City dan di Nahdah Square di wilayah Giza. Dari kedua tempat tersebut memicu gelombang aksi demonstrasi rakyat di sejumlah titik lain di luar kota Kairo. Militer merespon aksi demonstrasi tersebut dengan kekerasan yang mengakibatkan jatuhnya 36 korban tewas di pihak sipil sampai dengan 3 Juli 2013 pasca Mursi digulingkan. Hingga terjadinya peristiwa pembantaian terbesar terhadap massa pro demomokasi dan legitimasi Mesir yang bertahan di lapangan Rab'ah al-Adaweah, yang bertepatan dengan tanggal 14 Agustus 2013, dan tahun ini tanggal 14 Agustus 2015 pembantaian tersebut genap 2 tahun. (Buku Putih KOMNAS KDM)



*Sumber: http://www.syuhadar4bia.com/2015/08/kembali-mengenang-tragedi-demokrasi-di.html

[VIDEO] R4BIA : IA TELAH MENJADI SYI'AR
-- ada tangis, sedih, sekaligus bangga.... Ya Rabb...



Baca juga :