Jokowi: Kalau Saya Mau, Ribuan Orang Dipidana


Di tengah hebatnya kritik masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Jokowi yang belum genap setahun tapi kondisi ekonomi makin morat marit, bukannya menjawab kritikan masyarakat dengan kerja nyata tapi Presiden Jokowi malah mau menghidupkan lagi pasal penghinaan terhadap presiden yang sebelumnya sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi.

Tentu publik langsung bereaksi keras. Mereka menyatakan dikembalikannya pasal penghinaan presiden merupakan tanda kembalinya era ORBA.

Lewat media sosial, publik menyatakan penolakan dikembalikannya pasal penghinaan presiden.

"Pasal penghinaan presiden mau dihidupkan.. Bentar lagi jd soeharto jilid 2 nih presiden.." cuit netizen @qaqqah.

"Pasal penghinaan presiden rawan abuse of power. Bisa2 kritik dan sindiran ditafsirkan penghinaan. Penguasa berhak menafsirkan apapun," ujar @dimasprakbar.

Namun Presiden Jokowi menampik pasal penghinaan presiden yang kini dimasukkan pemerintah ke dalam draf revisi Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bertujuan untuk membungkam kritik terhadapnya.

“Gini ya, jadi wali kota, gubernur, atau presiden itu yang namanya diejek, dicemooh, dicaci, dihina, sudah makanan sehari-hari. Biasa. Kalau saya mau, ribuan yang kayak gitu bisa dipidanakan. Itu kalau saya mau,” kata Jokowi di Jakarta, Selasa (4/8), dilasnir CNN Indonesia.

“Tapi sampai detik ini, hal seperti itu tidak saya lakukan karena apapun, negara kita ini penuh kesantunan,” ujar mantan Wali Kota Solo itu.

Jokowi berpendapat pasal penghinaan presiden justru bertujuan untuk memproteksi orang-orang yang kritis.

“Ini untuk masyarakat yang kritis, agar masyarakat yang ingin melakukan pengawasan atau koreksi tidak dibawa ke pasal-pasal karet. Jadi jangan dibalik-balik. (Pasal ini) justru memproteksi,” kata Jokowi.

Pasal penghinaan terhadap presiden sesungguhnya saat ini telah hilang dari KUHP setelah dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2006. Namun pemerintah kembali memasukkannya ke dalam draf revisi RUU KUHP yang diserahkan ke DPR awal Juni lalu.

Pasal penghinaan presiden yang telah dibatalkan MK berbunyi, “Setiap orang yang di muka umum menghina Presiden dan Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda paling banyak Kategori IV.”

Memang pemerintah ini jago ngeles memang. Pasal penghinaan ini kan pasal karet. Bisa dipakai penguasa dengan tafsir sesukanya. Demikian dikemukakan juru bicara Partai Demokrat Ulil Abshar Abdala.

"Saya tetap tak sepakat pasal penghinaan presiden dihidupkan lagi. Diakali bagaimanapun, ini pasal sejak dari sononya akan jadi pasal karet. Jadi, apa maksudnya pemerintah mau menghidupkan kembali pasal penghinaan presiden ini? Harus ditolak!" komen Ulil melalui akun twitternya.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengungkap sejarah kelam kelahiran pasal penghinaan presiden dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Menurutnya, pasal tersebut semula bertujuan untuk melindungi Ratu Belanda dari hinaan pribumi saat masa penjajahan Belanda di tanah air puluhan tahun lalu.

"Tapi setelah kita merdeka, dianggap (pasal penghinaan) bisa berlaku untuk presiden. Saya sendiri tidak sependapat dengan hal itu," kata Yusril di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (4/8).


Baca juga :