"Berani Punya Musuh"
Oleh: Asma Nadia
Membaca judul di atas mungkin banyak yang tidak setuju. Tapi percaya atau tidak prinsip inilah yang dipegang Rasulullah, pendiri negara ini dan para pejuang di manapun mereka berada dan apapun yang mereka perjuangkan.
Sejak kecil kita diajari untuk tidak bermusuhan dan ini benar. Hanya saja sebagai catatan, petuah tersebut tidak berlaku untuk segala kesempatan. Di satu saat, di satu waktu pada akhirnya kita akan berhadapan dengan pilihan yang menuntut kita membangun kesiapan mempunyai musuh.
Bayangkan apa yang terjadi bila Bung Karno dan para pendiri bangsa tidak berani punya musuh. Apakah Indonesia akan merdeka? Seandainya Soekarno muda takut berpidato membaca Indonesia menggugat apakah akan ada Indonesia?
Bayangkan juga jika Bung Tomo tidak menentang sekutu. Akankah Indonesia dihormati? Peristiwa 10 November telah membuat sekutu berpikir ulang untuk mengembalikan Indonesia kepada Belanda.
Atau jika Kyai Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah atau Kyai Hasyim Ashari tidak berani menghadapi celaan dan gugatan ketika mulai memperkenalkan pendidikan modern dalam dunia pendidikan Islam yang masih tradisional. Apakah Muhammadiyah atau NU akan sebesar sekarang?
Dan Rasulullah panutan kita, ketika mulai memperjuangkan Islam, pun menghadapi banyak musuh. Muhammad SAW yang santun, yang dipercaya semua golongan, yang disukai semua lapisan masyarakat tiba-tiba menjadi musuh nomor satu di Mekah saat ia memperjuangkan sesuatu.
Padahal Muhammad muda sebelum diangkat sebagai Rasul sudah mempunyai jiwa yang lurus. Sebagai individu ia memilih untuk menyepi dan menghindari keburukan, mencari ketenangan hati.
Tetapi ketika diangkat menjadi Rasul, Allah tidak memberinya pilihan menyepi. Sebaliknya tugas beliau adalah menyebarkan ajaran Islam. Untuk perjuangan ini, Rasul sempat dibenci dan dimusuhi.
Singkatnya mempunyai musuh karena memperjuangkan sesuatu yang benar adalah bagian dari sunatullah.
Sementara dalam fenomena saat ini, tak jarang cukup banyak pihak yang menghindari perbedaan pendapat, memilih diam pun di sosial media, walau pun terhadap persoalan yang amat sangat penting, hingga berakibat meraja lelanya keburukan, tanpa ada yang menghentikan.
Secara jumlah kita mungkin banyak tetapi tidak memiliki kekuatan untuk membawa perubahan ke arah kebaikan, karena selama ini memilih diam.
Kenapa MOS dari tahun ke tahun masih saja terjadi kekerasan dan pelecehan, meski banyak orang tua, senior lurus, dosen dan guru yang di hati kecilnya tidak setuju? Bisa jadi alasannya antara lain karena sebagian besar guru takut dibenci murid senior, karena dosen atau rektor takut dianggap mengekang kebebasan mahasiswa, atau alasan-alasan lain. Mereka memilih diam dan 'membiarkan' anak baru jatuh menjadi korban.
Alhamdulillah Mendikbud dan Menristek Dikti berani memperjuangkan MOS atau OSPEK tanpa perpeloncoan. Berani memiliki prinsip dan idealisme yang diperjuangkan. Dan pejuang tidak takut punya musuh. Tidak pula surut langkah karena adanya haters.
Di dunia film, kenapa masih ada tontonan yang berbau porno, humor porno, atau adegan tidak mendidik dan mengumbar tubuh perempuan? Apakah karena pengawas perfilman khawatir dianggap terlalu mengekang? Satu hal yang harus diingat, setiap kekhawatiran dan ketakutan memiliki harga yang harus dibayar. Terkait tontonan, berakibat anak-anak Indonesia menjadi korban tayangan yang tidak terjaga. Walaupun diberi label umur, pada realitanya sering tontonan televisi maupun bioskop tetap bisa diakses mereka yang di bawah umur. Sehingga tindakan kehati-hatian akan lebih bijak.
Kenapa jalan-jalan di tanah Abang sekarang relatif lebih tertib? Sebab Gubernur Jakarta berani menegakkan aturan sekalipun dimusuhi pihak yang dirugikan. Pejuang memang harus berani memiliki musuh.
Begitu banyak kenapa yang harus kita tanyakan. Misal, kenapa korupsi tetap marak padahal kasat mata banyak diketahui teman sejawat? Sebab mereka yang jujur tidak mau melaporkan teman sekantor yang korup. Lupa bahwa demi menjaga perasaan teman atau karena merasa tidak enak kita lalai dari melindungi ribuan rakyat yang menjadi korban kejahatan korupsi. Tradisi setia kawan yang biasanya berulang, terlepas profesinya.
Musuh memang tidak boleh dicari toh dia akan datang sendiri di detik kita memperjuangkan sesuatu. Bisa berwujud haters, orang yang tidak setuju, orang yang tidak menyukai, yang benci, atau apapun. Keberadaan mereka menimbulkan konflik dalam kehidupan. Tetapi jika hidup selama ini tenang, tanpa riak sama sekali, mungkin kita harus melemparkan pertanyaan kepada diri sendiri: adakah selama ini kita memperjuangkan dengan tegas sebuah kebaikan? Berani bersikap dan berpihak pada kubu kebaikan? Sebuah perjuangan yang bisa dilakukan tanpa menjurus ke anarki, melainkan tetap dengan cara-cara yang bijak, sesuai aturan, dan semangat kebaikan untuk kemaslahatan yang lebih besar.
Agar ketika di akhirat nanti, saat Allah meminta pertanggungjawaban akan semua yang sudah dilakukan, termasuk apakah kita lebih rela menjadi musuh Allah karena menghindari bermusuhan dengan manusia? Kita mampu memberikan jawaban yang menghantar diri lebih dekat kepada surga.
*Sumber: ROL