Bila imam batal shalatnya, makmum tidak secara otomatis batal shalatnya. Makmum bisa meneruskan sendiri shalatnya tanpa harus terganggu dengan imam yang batal. Bila makmum lebih dari satu orang, bisa saja di antara mereka ada yang maju ke depan untuk menjadi imam.
Dasar kebolehan ini adalah ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu dibunuh saat beliau mengimami shalat shubuh. Beliau tidak bisa meneruskan shalatnya. Lalu salah seorang makmum maju ke depan untuk menjadi imam buat yang lainnya.
Dalam hal ini, bila imam batal, dia bisa menunjuk orang yang ada di belakangnya untuk menggantikan posisinya sebagai imam. Cara ini disebut dengan istikhlaf. Dan jamaah shalat tidak harus bubar.
Tetapi dalam kasus yang Anda tanyakan, imam yang sudah batal karena gengsi atau merasa malu, dia pura-pura tidak batal, lalu meneruskan shalatnya. Akibatnya sangat fatal, yaitu para makmum berimam kepada orang yang sudah tidak sah lagi shalatnya.
Padahal seorang imam yang batal shalatnya, tentu saja tidak boleh dijadikan imam. Dan sebagai imam, kewajibannya adalah berhenti dari shalatnya dan memberitahukan kepada para makmum bahwa dirinya telah batal dari shalat.
Adalah hal yang terlarang bila imam meneruskan shalatnya, apalagi dirinya tahu bahwa dirinya sudah batal. Jangankan menjadi imam, shalat sendirian pun kalau sudah batal, tidak boleh diteruskan.
Sebagai imam, bila tetap meneruskan shalat dan makmum dibiarkan tidak tahu bahwa imam sudah batal, tentu saja akan merusak jamaah shalat itu. Bahkan shalat para jamaah itu juga akan ikut rusak, karena mereka bermakmum kepada orang yang tidak sah menjadi imam.
Seharusnya dalam keadaan seperti itu, imam secara legowo dan terus terang mengakui saja bahwa dirinya sudah batal. Tidak perlu ada rasa gengsi atau malu. Sebab keselamatan shalat para jamaah harus diutamakan, ketimbang berpikir tentang gengsi atau rasa malu.
Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua, sebab syarat menjadi imam adalah orang yang paling mengerti (afqahuhum) dalam masalah agama. Terutama sekali dalam ilmu tentang shalat berjamaah. Sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak biasanya, si imam memang sudah tahu apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Wallahu a'lam bishshawab,
Dasar kebolehan ini adalah ketika Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu dibunuh saat beliau mengimami shalat shubuh. Beliau tidak bisa meneruskan shalatnya. Lalu salah seorang makmum maju ke depan untuk menjadi imam buat yang lainnya.
Dalam hal ini, bila imam batal, dia bisa menunjuk orang yang ada di belakangnya untuk menggantikan posisinya sebagai imam. Cara ini disebut dengan istikhlaf. Dan jamaah shalat tidak harus bubar.
Tetapi dalam kasus yang Anda tanyakan, imam yang sudah batal karena gengsi atau merasa malu, dia pura-pura tidak batal, lalu meneruskan shalatnya. Akibatnya sangat fatal, yaitu para makmum berimam kepada orang yang sudah tidak sah lagi shalatnya.
Padahal seorang imam yang batal shalatnya, tentu saja tidak boleh dijadikan imam. Dan sebagai imam, kewajibannya adalah berhenti dari shalatnya dan memberitahukan kepada para makmum bahwa dirinya telah batal dari shalat.
Adalah hal yang terlarang bila imam meneruskan shalatnya, apalagi dirinya tahu bahwa dirinya sudah batal. Jangankan menjadi imam, shalat sendirian pun kalau sudah batal, tidak boleh diteruskan.
Sebagai imam, bila tetap meneruskan shalat dan makmum dibiarkan tidak tahu bahwa imam sudah batal, tentu saja akan merusak jamaah shalat itu. Bahkan shalat para jamaah itu juga akan ikut rusak, karena mereka bermakmum kepada orang yang tidak sah menjadi imam.
Seharusnya dalam keadaan seperti itu, imam secara legowo dan terus terang mengakui saja bahwa dirinya sudah batal. Tidak perlu ada rasa gengsi atau malu. Sebab keselamatan shalat para jamaah harus diutamakan, ketimbang berpikir tentang gengsi atau rasa malu.
Semoga hal ini menjadi pelajaran bagi kita semua, sebab syarat menjadi imam adalah orang yang paling mengerti (afqahuhum) dalam masalah agama. Terutama sekali dalam ilmu tentang shalat berjamaah. Sehingga ketika terjadi hal-hal yang tidak biasanya, si imam memang sudah tahu apa yang harus dilakukan, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh.
Wallahu a'lam bishshawab,