Buruk muka, cermin dibelah. Mungkin pepatah itu tepat untuk kelakuan Gubernur DKI Jakarta Ahok yang bereaksi “aneh” ketika Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendapat opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Bukannya mawas diri dan berbenah, Ahok malah menuding kinerja BPK tidak jelas. Ahok juga mengungkap “aib”-nya sendiri, karena ternyata ia mengikuti cara kerja Gubernur Fauzi Bowo alias Foke, bukan cara kerja baru (kalau memang ada) seperti slogan kampanyenya dulu bersama Joko: “Jakarta Baru”. Padahal, Ahok dan juga Joko kerap menuding Foke sebagai sumber beberapa masalah di Jakarta, termasuk soal pengelolaan aset.
“Perjanjian dengan pihak ketiga itu sudah ada dari zaman Pak Foke. Makanya saya meminta standard BPK harus jelas juga dalam memeriksa. Kenapa zaman Pak Foke itu WTP [Wajar tanpa Pengecualian] dengan kasus aset yang sama?” ujar Ahok di Balai Kota, Jakarta Pusat, Selasa (7/7).
Dengan pernyataannya itu, Ahok bisa dibilang sebenarnya mengetahui lemahnya pengawasan aset milik Pemprov DKI Jakarta telah terjadi sejak zaman Foke. Tapi kenapa Ahok tidak membenahi, sehingga dua tahun berturut-turut BPK memberi penilaian yang sama terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta?
Seperti telah banyak diberitakan, BPK memberikan opini WDP kepada Laporan Keuangan Pemprov DKI tahun 2014 karena BPK mendapatkan 70 temuan senilai Rp 2,16 triliun yang berindikasi merugikan daerah dan berpotensi merugikan daerah. Program yang berindikasi merugikan daerah senilai Rp 442 miliar dan yang berpotensi merugikan daerah sebanyak Rp 1,71 triliun.
BPK juga menemukan kekurangan penerimaan daerah senilai Rp 3,23 miliar, belanja administrasi sebanyak Rp 469 juta, dan pemborosan senilai Rp 3,04 miliar. Juga ada beberapa temuan yang disorot BPK dan wajib menjadi perhatian Pemprov DKI Jakarta. Temuan itu adalah aset seluas 30,88 hektare di Mangga Dua dengan PT DP yang dianggap lemah dan tidak memperhatikan faktor keamanan aset. Selain itu, pengadaan tanah RS SW di Jakarta Barat tidak melewati proses pengadaan memadai. “Ada indikasi kerugian senilai Rp 191 miliar,” kata anggota BPK, Moermahadi Soeja Djanegara.
Bukan hanya itu. BPK juga menemukan Pemprov DKI mengalami kelebihan bayar biaya premi asuransi senilai Rp 3,7 miliar, juga pengeluaran dana Bantuan Operasional Pendidikan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan senilai Rp 3,05 miliar. Temuan lain dari BPK yang perlu diwaspadai Pemprov DKI adalah penyertaan modal dan aset ke PT Transportasi Jakarta yang tak sesuai ketentuan. Ini menyangkut tanah seluas 794 ribu meter persegi, bangunan seluas 234 meter persegi, dan tiga blok apartemen yang belum diperhitungkan sebagai penyertaan modal kepada badan usaha milik daerah.
Tapi, yang kemudian dipersoalkan Ahok bukannya audit BPK yang menyangkut uang rakyat yang sangat besar nilainya itu, tapi malah soal pertanyaan auditor BPK terkait uang operasional dan uang makannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Saya mau tanya operasional menteri-menteri diperiksa sampai uang cabai dan beras enggak?” katanya.
Ia juga malah meminta anggota BPK melakukan pembuktian harta terbalik berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Ratifikasi PBB Melawan Korupsi. Dalam peraturan itu disebutkan, jika harta seorang pejabat publik tidak sesuai dengan biaya hidup dan pajak yang dibayar, maka hartanya akan disita negara, dan dia dinyatakan sebagai seorang koruptor. “Saya mau nantang semua pejabat di BPK yang ada, bila perlu buktikan pajak yang kalian bayar, harta kalian berapa. Biaya hidup kalian, anak-anak Anda kuliah di mana? Kalau enggak bisa buktikan, enggak boleh jadi anggota BPK, enggak boleh periksa orang karena kalian bisa ada unsur masalah,” tutur Ahok.
Pertanyaannya lagi, kenapa bukan Ahok dulu yang memulai lebih dulu pembuktian terbalik itu dan juga membuktikan dengan data-data yang akurat bahwa opini WDP dari BPK itu tidak benar? (Ton/Pur)
Sumber: http://pribuminews.com/07/07/2015/ahok-membongkar-aib-nya-sendiri/