Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunjuk mantan Gubernur DKI Jakarta Letnan Jenderal (Purn) Sutiyoso untuk menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Penunjukkan Sutiyoso menjadi Kepala BIN menuai kontra dari sejumlah kalangan.
Di antaranya adalah Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) yang menolak Sutiyoso sebagai Kepala BIN. Koordinator KontraS Haris Azhar menilai Ketua Umum Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia (PKPI) tersebut tidak layak menjadi Kepala BIN karena terlibat dalam Peristiwa Kudatuli atau 27 Juli 1996.
"Selain itu, Sutiyoso nggak layak karena sudah usai tua. Sutiyoso juga dari Parpol pendukung," kata Haris di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Rabu (10/6/2015).
Seperti diketahui, Jokowi mengirimkan surat pengajuan nama Sutiyoso sebagai Kepala BIN ke DPR. Surat pengajuan tersebut dikirim Jokowi kemarin sore bersamaan dengan penunjukan Gatot sebagai Panglima
Peristiwa 27 Juli 1996, disebut sebagai Peristiwa Kudatuli (akronim dari KERUSUHAN DUA PULUH TUJUH JULI) atau Peristiwa Sabtu Kelabu (karena memang kejadian tersebut terjadi pada hari Sabtu) adalah peristiwa pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jl Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri. Penyerbuan dilakukan oleh massa pendukung Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) serta dibantu oleh aparat dari kepolisian dan TNI.
Saat insiden Kerusuhan 27 Juli 1996 (Peristiwa Kudatuli), Sutiyoso menjabat sebagai Pangdam Jaya. Pada kerusuhan di Jl. Diponegoro 58 itu, dilaporkan lima 5 orang meninggal dunia, 149 orang (sipil maupun aparat) luka-luka, 136 orang ditahan.
Terkait Kudatuli, Sutiyoso sempat mengaku terlibat dalam peristiwa itu. “Siapapun yang jadi Kapolda dan Panglima Kodam Jaya saat itu, pasti terlibat. Masalahnya, ada pejabat militer dan polisi yang berani mengaku ada dan ada yang tidak. Dan saya mengakui,” kata Sutiyoso.
Sutiyoso adalah mantan Panglima Kodam Jaya. Saat ini, Sutiyoso menjabat sebagai Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI), salah satu parpol pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla.
*berbagai sumber