Rasa Malu Syaikh Yusuf Qaradhawi


Suatu hari di bulan Ramadhan, Syaikh Yusuf Qaradhawi terpaksa menempuh perjalanan kaki sejauh 11 KM dari Thantha ke Kfar Syaikh. Itu dilakukan oleh ulama terkemuka dunia ini ketika beliau masih mahasiswa.

Kisahnya. Kala itu beliau diminta mengisi kajian di Thantha. Setelah kajian usai, saatnya Yusuf Qaradhawi pulang, namun panitia tidak memberikan sepeser uang pun kepada beliau. Panitia kajian di Thantha mengira bahwa Panitia di Kfar Syaikh telah memberikan uang transportasi untuk Qaradhwi. Sedang panitian di Kfar Syaikh justru menyangka bahwa panitia di Thantha yang akan memberikan ongkos bis untuk pengisi kajian hari itu.

Setelah kajian usai, Qaradhawi mohon diri. Tanpa disertai panitia ke halte bis. Yusuf Qaradhawi yang sadar tidak punya uang sama sekali, merasa malu untuk berterus terang kepada panitia. Maka beliau pun memutuskan untuk jalan kaki.

Adzan maghrib berkumandang, Qardhawi pun singgah di masjid terdekat. Beliau membatalkan puasanya dengan minum air kran, kemudian melanjutkan berwudhu untuk shalat maghrib. Seusai shalat, beliau berjumpa dengan seorang sahabatnya, "Sudah berbuka?" tanya Sang Sahabat. "Oh, sudah, alhamdulillah," jawab Qaradhawi cepat. Padahal maksud sahabat bertanya, apakah beliau sudah makan, sudah minum, sebagaimana layaknya orang berbuka.

Yusuf Qaradhwi merasa malu untuk berterus terang. Pun beliau tidak berterus terang bahwa beliau sebenarnya kelelahan karena berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh. Lapar sudah pasti melilit perut beliau. Namun rupanya rasa malu mengalahkan rasa lapar dan penat seorang Yusuf Qaradhawi.

Sodara, puasa yang saat ini tengah kita jalani, mari kita jadikan sebagai media untuk mengembalikan rasa malu yang sebagiannya telah banyak tercerabut dari diri kita. Sebab berbagai keburukan dan kejahatan yang dilakukan manusia lebih banyak karena tiadanya rasa malu.

Yusuf Qaradhawi memilih kelelahan dan kelaparan daripada menggadaikan rasa malunya. Kita mungkin tidak dituntut harus seperti itu. Tapi, setidaknya mari kita genggam rasa malu sebagaimana norma agama maupun norma yang disepakati di tengah masyarakat.

(Abrar Rifai)


Baca juga :