Pemimpin Ingkar Janji & Fatwa MUI


Fatwa untuk pemimpin yang ingkar janji yang diwacanakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini cukup menarik. Ada masyarakat yang menyambut baik, ada yang menganggap hal ini tidak memerlukan fatwa karena sudah jelas hukumnya dalam nash, dan ada juga yang menuduh fatwa ini terlalu bermuatan politis, seolah-olah pihak terakhir tersinggung karena fatwa MUI mengarah kepada tokoh pujaannya.

Memang cukup debatable apakah perlu atau tidaknya fatwa ini mengingat Islam sudah tegas menghukum orang yang ingkar janji dengan melekatkan predikat munafik. Hadits riwayat Bukhori dan Muslim telah masyhur di kalangan umat muslim mengulas tentang kriteria munafik.

“Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga, yaitu jika berbicara berdusta, jika berjanji mengingkari dan jika dipercaya berkhianat.”

Dan orang yang munafik diancam dengan neraka yang paling dasar.

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (QS An-Nisa 145)

Tetapi fatwa ini menandakan masih ada kesadaran di tengah masyarakat akan krisis kepemimpinan yang terjadi di negara ini. Krisis pemimpin yang jujur, krisis multi dimensional akibat kepemimpinan yang tidak jujur, dan krisis sikap kritis masyarakat mengoreksi ketidakjujuran pemimpin. Fatwa hadir karena ada pertanyaan. Perlu diapresiasi masyarakat yang mencuatkan pertanyaan mengenai hukum pemimpin yang ingkar janji.

Islam Tutup Celah Krisis Kepemimpinan

Ajaran Islam bila diimplementasikan secara kompak oleh tiap individu yang memeluknya, niscaya bisa mencegah krisis kepemimpinan.

Dalam Islam, ajaran kepemimpinan bukanlah yang hanya mengurusi masyarakat banyak. Tetapi ajaran kepemimpinan dimulai dari individu. Sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah saw.

“Setiap kalian adalah pemimpin & akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang imam adalah pemimpin & akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Dan seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarga & akan dimintai tanggungjawab atas kepemimpinannya. Dan wanita adalah penanggung jawab terhadap rumah suaminya & akan dimintai tanggungjawabnya. Serta pembantu adalah penanggungjawab atas harta benda majikannya & akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (Muttafaqun ‘alaihi)

Setelah disadarkan akan tanggung jawab tiap individu, kemudian Islam melengkapi tiap insan dari umatnya dengan skill kepemimpinan. Islam mengajarkan tiap personal bagaimana mengontrol diri dan memerintahkan berpuasa  untuk mengendalikan hawa nafsu. Islam menyuruh berbuat adil sekalipun kepada pihak yang tidak disukai, memerintahkan menepati janji dan menunaikan amanah.

Seorang muslim diperintahkan bersabar dan bersyukur dalam merespon setiap keadaan. Sehingga dengan manajerial diri yang baik, semua keadaan menjadi baik.

“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.” (HR Muslim)

Islam juga membekali umatnya pembelajaran manajerial keluarga yang baik. Al-Qur’an mencontohkan bagaimana nabi Ibrahim a.s. berdoa untuk keluarga. Rasulullah saw juga memberi model langsung profil keluarga yang harmonis. Bertebaran ajaran-ajaran kepemimpinan keluarga dalam Islam.

Islam juga tak melupakan ajaran mengurus kepentingan publik. Rasulullah saw menjadi contoh harum kepemimpinan yang dicintai rakyatnya. Tata negara dan politik Islam pun banyak diulas dan dibukukan oleh para ulama abad pertengahan. Sebut saja Ibnu Taimiyah yang menulis kitab As-Siyasah Syar’iyah. Imam Mawardi menyuguhkan beberapa kitab politik Islam seperti Al-Ahkamu As-Sulthaniyyah, Siyasatu Al-Wizarati wa Siyasatu Al-Maliki, dll. Dan Imam Adz-Dzahabi beserta banyak ulama lain ikut berkontribusi dengan pemikirannya tentang politik Islam yang berisi ajaran kepemimpinan.

Dengan ajaran-ajaran itu, harusnya tak ada krisis kepemimpinan pada negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

Sumber Krisis Kepemimpinan

Lantas mengapa ironinya di Indonesia – negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia – malah tertimpa krisis kepemimpinan? Suksesi kepala daerah maupun anggota dewan tiap lima tahun sekali berjalan lancar, namun tak kunjung menghadirkan kehidupan yang sejahtera bagi rakyat. Sebaliknya, pemimpin yang terbuka aib kebohongannya bergonta-ganti mengambil alih tampuk kekuasaan.

Jawabannya mudah, karena ajaran Islam tidak diimplementasikan secara kaffah oleh seluruh umat Islam di Indonesia. Hingga akhirnya negeri ini melahirkan calon-calon pemimpin yang bukanlah mereka yang mampu memimpin diri sendiri dengan baik berdasarkan ajaran Islam, atau menjaga keluarganya dalam ketaatan kepada Allah swt.

Para pemilih yang beragama Islam pun tidak mempedulikan akhlak pemimpinnya. Orang yang telah terbukti berbohong, telah terbukti ingkar janji, tetap saja dipilih oleh masyarakat. Atau masyarakat tak mau mempelajari dengan serius siapa calon pemimpin yang fotonya terpampang di poster-poster KPU. Bagi sebagian pemilih di Indonesia, pemimpin yang layak pilih adalah yang tim suksesnya mau menggelontorkan sejumlah dana atau dikenal dengan money politic.

Padahal Islam memerintahkan agar umatnya mengangkat orang yang bertaqwa sebagai pemimpin.

Sumber krisis kepemimpinan juga disebabkan oleh kehidupan sosial masyarakat. Sebagaimana keadaan pohon tergantung dari tanah tempat ia tumbuh, pemimpin pun menjadi cerminan kondisi masyarakat. Di tengah kumpulan masyarakat yang baik akan lahir pemimpin yang baik, vise versa.

Allah swt menyatakan bahwa umat yang zholim akan dipimpin oleh pemimpin yang zholim pula.

“Dan demikianlah Kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi penguasa bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (Al An’aam: 129)

Rasulullah saw pun memberi sinyal kehadiran pemimpin yang rusak akibat masyarakat yang rusak.

“Tidaklah orang-orang mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan disiksa dengan kezhaliman penguasa.” (HR Ibnu Majah)

Karena itu, rasanya fatwa MUI tentang hukum pemimpin yang ingkar janji belum cukup mengobati krisis kepemimpinan di negara ini. Pun bila ada mekanisme impeachment bagi pemimpin yang terbukti ingkar janji. Karena tiap seorang pemimpin pembohong diturunkan, mungkin saja akan diangkat pemimpin lain yang tak jujur.

Kecuali bila umat Islam di Indonesia ini bersungguh-sungguh menyiapkan individu-individu yang komitmen kepada ajaran Islam. Dan itu harus dimulai dari tiap pribadi secara merata.

(Zico Alviandri)


Baca juga :