Oleh: Sukamta, PhD
(Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Komisi I DPR RI)
Soekarno selalu mengatakan bahwa Pancasila merupakan hasil dari kontemplasi dirinya atas penggalian nilai-nilai yang sudah berurat dan berakar di masyarakat kita seperti gotong royong. Dan beliau menemukan 5 nilai yang salah satunya religiusitas yang kemudian disebut ketuhanan. Nilai-nilai yang berakar itu bukan begitu saja muncul dari negeri antah berantah, melainkan berakar dari nilai-nilai agama yang sudah berakar di masyarakat nusantara saat itu.
Seperti kita ketahui, para founding fathers telah membentuk tim 9 orang perumus Pancasila. Dari 9 orang itu hanya 1 yang nonmuslim. Semuanya sudah sepakat rumusan Pancasila:
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Namun ada elemen dari Indonesia bagian timur yang menuntut dihapuskannya frase Syariat Islam, sehingga berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan lobi-lobi akhirnya para tokoh Islam dari tim 9, demi persatuan, merelakan dihapuskannya frase syariat Islam. Jika sejarah penghapusan ini valid, maka inilah sikap toleransi dan besar hatinya umat Islam sebagai mayoritas. Saya jadi teringat ketika dalam Perjanjian Hudaibiyyah, Rasulullah SAW menghapus sendiri frase bismillahirrahmaanirrahim dan diganti menjadi bismika Allahumma. Kalimat Muhammad Rasulullah dihapus dan diganti menjadi Muhammad Bin Abdullah. Ini semua karena desakan salah satu unsur anggota perjanjian. Jelaslah bagaimana Rasulullah demikian toleran dan berbesar hati. Sikap yang dicontohkan Rasulullah dan para founding fathers kita ini keren khan?
Namun demikian, bukan berarti perjuangan umat Islam kemudian gagal dalam membangun pondasi bangsa dan negara. Dihapuskannya frase syariat Islam bukan bentuk kegagalan umat Islam. Karena nilai-nilai substansi Islam tetap terkandung secara jelas dalam Pancasila. Bisa jadi, Pancasila adalah salah satu tahapan keberhasilan umat Islam.
Jika kita pelajari secara mendalam, jelas terlihat Pancasila keren karena kental dengan nilai-nilai subtansial yang dicontohkan oleh Rasulullah. Nilai Ketuhanan ditetapkan sebagai sila Pertama tentu memiliki alasan rasional tersendiri, yaitu nilai Ketuhanan menjadi jiwa bagi sila-sila lainnya. "Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil." (QS al Maidah : 8). Ini jelas masuk ke dalam Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. "Berpeganglah kamu pada tali Allah dan jangan bercerai berai. (QS Ali Imran : 103). Ini jelas merupakan pesan Persatuan Indonesia. "Bermusyawarahlah kamu dengan mereka" (QS Ali Imran : 159)." Ini juga jelas merupakan spirit Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. "Berbuat adillah, karena adil mendekatkanmu kepada taqwa." (QS al Maidah : 8). Saya rasa, keadilan ini jelas juga tertuang dalam sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila keren khan?
Kentalnya nilai-nilai Islam dalam Pancasila tentunya karena pertama, memang nilai-nilai agama sudah hidup pada masyarakat saat itu. Kedua, juga karena pada saat itu terlihat geliat kebangkitan umat Islam setelah keruntuhannya. Geliat kebangkitan ini terbaca oleh Lothrop Stoddard yang kemudian menuangkannya dalam buku berjudul The New World of Islam yang terbit sekitar tahun 1920-an. Presiden Soekarno demikian terinsiprasi dengan buku tersebut sehingga pada tahun 1966 beliau memerintahkan untuk menerrjemahkannya dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan agar menjadi buah pemikiran dan inspirasi bagi kebangsaan Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Dengan mendarahdagingnya nilai-nilai agama dalam Pancasila, serta kehidupan berbangsa dan bernegara, maka jangan sampai kita mengkhianati Pancasila dengan menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kita harus pertahankan Pancasila agar tidak dibajak oleh oknum-oknum yang ingin menjadikan bangsa ini jauh dari nilai-nilai agama.
Selain itu, saya melihat Pancasila itu visioner. Saya kagum dengan para founding fathers yang memang para pemikir, negarawan dan pembaca dialektika yang berkembang saat itu. Sehingga diskusi-diskusi, debat-debat, dialektika-dialektika yang berbobot menghasilkan pemikiran-pemikiran yang brilian, keren dan visioner. Di antara hasil pemikiran itu adalah nilai musyawarah perwakilan yang tertuang dalam sila ke empat. Lucunya, demokrasi yang berkembang di barat kini cenderung mengarah ke model musyawarah ini. David Held belakangan ini dalam bukunya The Models of Democracy menjelaskan model-model demokrasi yang ada. Dan yang terbaru adalah model demokrasi deliberatif, yaitu demokrasi yang menekankan kepada musyawarah dengan penyertaan masyarakat. Bangsa Barat baru sadar pentingnya deliberatif ini, sedangkan hal ini sudah jelas tertuang dalam Pancasila dan kita mempraktikkannya selama ini.
Hal lain yang menurut saya Pancasila visioner adalah bahwa nilai sosial demokrat terkandung di dalamnya. Jika Pancasila diperas menjadi 3 maka unsurnya terdiri dari sosio nasionalisme, sosio demokrasi dan ketuhanan. Jika diperas lagi jadi Ekasila, intinya adalah gotong royong, kurang lebih mirip dengan spirit Piagam Madinah yang menekankan gotong royong dalam masyarakat yang plural. Gotong royong pasti didahului dengan musyawarah.
Ketika itu negara-negara Barat sedang gandrung dengan demokrasi dan negara-negara Timur sedang gandrung dengan sosialisme komunisme, Pancasila mengakomodasi jalan tengah sosio demokrasi. Indonesia pun menggagas Gerakan Non Blok. Ini juga sesuai dengan "Tidaklah Kami jadikan kalian kecuali sebagai wasit (saksi/penengah) bagi umat manusia." Indonesia layak sebagai penengah. Sepertinya negara-negara Barat gandrung dengan konsep sosialis demokrat. 50 tahun sebelumnya Indonesia sudah mengakomodasi hal tersebut dalam Pancasila. Karenanya sangat tepat bila negara-negara Barat dan Timur perlu belajar Pancasila dari Indonesia. Sebuah pemikiran yang keren yang visioner, akomodatif dan terbuka.
Oleh sebab itu yang perlu kita pikirkan sekarang, terlebih sebentar lagi kita akan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN di mana segala hal menjadi terbuka, kita harus berpikir maju untuk mengkampanyekan Pancasila kepada negara-negara lain. Bangsa lain boleh jualan produk-produk ekonomi. Kita pun begitu, meskipun komoditas ekonomi jualan kita masih didominasi oleh sumber daya alam mentah. Kita perlu gebrakan untuk jualan Pancasila, sebagaimana Amerika jualan demokrasi. Pancasila yang keren dan visioner ini, saya rasa akan sangat laik jual. Negara-negara lain harus belajar Pancasila dari kita. Ini adalah daya saing tersendiri bagi Indonesia.