Oleh Ahmad Dzakirin*
Secara umum, politik luar negeri Turki cenderung anomali dengan jamak politik luar negeri di negeri-negeri Muslim lainnya. Introvert, pragmatis, domestic-oriented sehingga cenderung ignorant.
Turki sebaliknya mengembangkan kebijakan perlindungan kepada pelbagai kelompok-kelompok Islam yang tertindas di pelbagai belahan dunia, selevel dengan kebijakan positif Eropa pada era 80-an yang memberi suaka kepada para pelarian politik yang ditindas para rejim diktator di negara-negara Muslim.
Istanbul kini tidak hanya "safe haven" bagi para aktivis Ikhwanul Muslimin, Mesir, dan HAMAS, Palestina, namun juga pelbagai gerakan perlawanan lainnya, seperti Uighur, Xinjiang, Crimea, Rusia, Tajikistan, Chechnya dan bahkan untuk gerakan seperti Hizbut Tahrir (HT), tanpa diskriminasi.
HT bagi banyak pengamat gerakan Islam, seperti halnya Salafi dikenal tidak ramah kepada pemerintahan Erdogan. Stereotip gerakan ini sering kali menyebut pemerintahan Erdogan "antek AS, Barat, Zionis" dan bahkan "anti Islam". Jika seandainya terdapat beberapa kebijakan Erdogan dipandang pro Islam, maka mereka biasanya menyebutnya sebagai kamuflase untuk menyembunyikan fakta (anti Islam) yang sebenarnya.
HT beroperasi di Turki sejak 1960, kendati diawasi aparat keamanan namun dianggap organisasi yang tidak efektif. Pada 2005, organisasi ini menyelenggarakan demo di Masjid Al Fatih untuk isu Syariah dan Khilafah, serta secara khusus mengecam Mustafa Kemal Ataturk.
Pada 2009, 200 aktivis HT ditahan dalam operasi polisi di 23 provinsi atas tuduhan anggota organisasi terlarang dan perencanaan serangan atas warga sipil. Juni 2011, kejaksaan kembali menangkap 17 aktivis HT. Terungkap dalam operasi itu jika pembiayaan organisasi berasal dari Imededdin al Barakat, wargaYordania, keturunan Palestina yang tinggal di Israel. Setiap dua bulan sekali, uang sejumlah 40 ribu dolar dikirim lewat kurir.
Namun bagi saya, itu bukan isu. Justru yang menarik, Juli 2012, DPR mengesahkan UU yang -diantaranya- memberi jalan bagi pembebasan 100 anggota HT, termasuk para tokoh senior mereka. UU tersebut disahkan pada hari Jum'at, yang dinilai kelompok oposisi akal-akalan pemerintah, menghindari judicial review atau banding karena hari libur. Baru Senin, kelompok oposisi mengajukan banding sehingga ditunda implementasinya, namun konon sebagian besar tahanan politik itu sudah terlanjur kabur dan bersembunyi.
Baru ketika pemerintah Erdogan sukses mengambil alih dominasi badan tertinggi peradilan (HSKY) dari kelompok Gulen, melalui jaksa, Hanafi Yavus, membatalkan tuduhan atas 17 aktivis HT karena berkeyakinan HT bukan organisasi teroris. Kasus-kasus HT dibeberapa pengadilan pada akhirnya di SP-3 kan.
Saya sendiri setuju, kendati sejengkel apapun anda pada HT, namun pelbagai riset valid membuktikan bukan organisasi teroris. Jadi tuduhan kelompok Gulen -dengan asumsi kepolisian dan kejaksaan dikendalikan kelompok ini sebelum operasi 27 Desember 2013- bermuatan politis.
Kini HT bebas bergerak di Turki, kendati formalnya organisasi terlarang. Maret silam, organisasi ini kembali menyelenggarakan Konferensi Khilafah di lstanbul yang dihadiri para pemimpin HT dari pelbagai negara, termasuk wakil dari Uzbekistan, yang sering dicurigai analis keamanan, sebagai elemen radikal dalam tubuh HT. Pemimpin puncak HT, Abu Rashta bahkan mengirimkan pesan khusus dalam konperensi tersebut.***
*Ahmad Dzakirin, pengamat Timteng, penulis buku 'Kebangkitan Pos-Islamisme AKP Turki', saat ini sedang berada di Turki. Turki akan menggelar Pemilu Legislatif 7 Juni mendatang.