Ashim Abdul Khaliq
Sejarah Palestina adalah sejarah peluang yang hilang dan disia-siakan oleh Arab yang seharusnya mereka gunakan untuk mengembalikan hak-hak mereka yang hilang.
Kali ini terkait kisah kampanye dunia internasional memboikot Israel yang digalang oleh lembaga-lembaga swasta Palestina yang didukung oleh puluhan organisasi dan lembaga internasional non pemerintah, termasuk relawan dunia. Kampanya ini kemudian mengerucut untuk membentuk gerakan boikot Israel atau BDS (The Boycott, Divestment and Sanctions Movement (BDS Movement), penarikan investasi dari Israel dan sanksi kepada mereka agar hak-hak Palestina bisa dikembalikan.
Kampanye non pemerintah ini sebenarnya sudah dimulai tahun 2005 dari gagasan yang muncul dari konferensi Derbin di Afrika Selatan tahun 2001 yang diikuti oleh 1500 organisasi non pemerintah. Dari sana lahir Piagama Derbin yang menyerukan untuk mengisolasi Israel secara politik. Afrika Selatan menjadi tuan rumah konferensi ini bisa dimaklumi karena mayoritas kulit hitam sedang melakukan aksi anti rezim rasis dengan mengguanakan senjata boikot dunia yang terbukti efektif dan menarik bagi pegiat HAM di barat.
Meski BDS tidak mendapatkan dukungan dari Arab, namun atas nama HAM dan membela undang-undang internasional, aksi ini menyerang Israel di bidang akademi, buruh, agama, kepemudaan dan lainnya di Amerika dan Uni Eropa. Tuntutan mereka semua dimaklumi yakni mengakhiri penjajahan Israel dan menghancurkan tembok pemisah rasis yang dibangun Israel di Tepi Barat dan memberikan peluang kepada Palestina 48 hak-hak mereka dan mengembalikan pengungsi Palestina ke kampung halaman mereka sesuai dengan resolusi internasional.
Selama beberapa tahun terakhir, kampanye ini terbukti berhasil dan memboikot Israel. terakhir, asosiasi dewan pelajar di Inggris yang beranggotakan 7 juta pelajar bergabung dalam aksi boikot ini memutuskan untuk memboikot akademi Israel. Lebih dari 700 seniman, budayawan, akademisi barat ikut dalam meneken deklarasi memboikot Israel dan produk seni dan akademi mereka.
Pada saat negara-negara Arab cuek ‘bebek’ terhadap kampanye ini, justru Israel menganggap BDS sebagai ancaman atas eksistensi yang tidak kalah berbahayanya dengan ancaman nuklir Iran atau ancaman Hamas. Israel menyebut aksi itu sebagai propaganda dan anti semit atau bahkan dituding terorisme yang mengancam eksistensi Israel. Bahkan organisasi sahabat Israel di Amerika dan Eropa mengusulkan adanya undang-undang yang mengkriminalkan seruan boikot Israel atau ikut serta di dalamnya.
Pihak parlemen Knesset Israel sendiri mengeluarkan undang-undang ini di tahun 2001.
Kegelisahan dan kekhawatiran Israel dalam hal ini karena dua sebab; pertama, kerugian ekonomi Israel karena produk mereka tidak bisa dipasarkan di Uni Eropa; yang merupakan partner Israel paling penting. Kerugian bisa sampai hingga 8 milyar dolar setiap tahun.
Israel makin resah karena sebanyak 13 negara Eropa setuju sejak April 2013 untuk memberikan tanda dan lebel terhadap produk-produk dari pemukiman Yahudi yang dijual di pasar Eropa untuk mengingatkan konsumen. Namun karena tuntutan Amerika, proses ini dihentikan.
Kedua, Israel ketakutan secara politik terkait citranya di dunia internasional. Selama ini Israel – dalam konfliknya dengan Arab – selalu mengaku menjadi korban kejahatan dan kekerasan pihak lain atau korban terorisme pihak lain. Namun kini Israel justru didakwah melakukan pelanggaran HAM dan undang-undang internasional dan Israel harus membela dirinya.
Sisi lain, pelaku dan pegiat anti Israel dan boikot itu dari pihak lembaga non pemerintah yang tidak bisa dikendalikan oleh pemerintah manapun.
Sayang seribu sayang, justru negara-negara Arab sendiri tak menunjukkan simpati dan tertarik kepada aksi semacam ini. Mereka tak mendukung secara materi, maknawi, dan politik terhadap kampanye dan gerakan ini. Padahal ini merupakan peluang termahal yang ada di depan mereka.
(El-HaleejErmirat/at/infopalestina.com)