Wah, Saya Diundang Makan Malam oleh Jokowi!
Ya, tiba-tiba saja undangan itu datang. Langsung dari Jokowi. Bukan dari staf kepresidenan.
"Bang Jonru, datang ya malam ini. Mau saya traktir makan mie goreng lho, makanan kesukaan Bang Jonru. Saya mau ngobrol banyak hal dengan sampeyan," tulis Jokowi dalam surat bersampul merah itu.
Saya terkejut. Kaget luar biasa! Seorang presiden menyurati saya? Meminta saya secara khusus untuk datang ke istananya, makan malam berdua saja? Wow! Amazing. Ini kesempatan besar, tak boleh disia-siakan!"
Maka malam itu, saya pun benar-benar datang, dan makan berdua dengan Jokowi. Kami ngobrol tentang mie goreng, tentang nasi gudeg, tentang lontong sayur, tentang kodok dan juga monyet. Pembicaraan kami sangat ringan, tak ada membahas politik, apalagi demo 20 Mei. Pokoknya tentang hal remeh-temeh saja, dengan tujuan agar saling kenal, akrab dan silaturahmi terjalin dengan baik.
Setelah itu, saya pun pamit pulang. Jokowi tidak memberikan apapun pada saya, tidak ada oleh-oleh, hanya diantar ke pintu gerbang dengan senyum khasnya yang sangat njawani. Saya bukan berharap diberi sesuatu. Saya menulis ini hanya untuk menegaskan bahwa tak ada titipan apapun di balik jamuan makan.
Setiba di rumah, saya ingin menulis lagi tentang Jokowi, ingin mengkritiknya. Tapi tiba-tiba saya ragu. Hm, rasanya kok gak enak, ya? Kan kemarin kami baru bertemu. Ditraktir makan Di istana pula. Diundang secara eksklusif pula. Saya merasa sangat dihargai. Tentu saya jadi sungkan jika masih suka mengkritik beliau.
Karena itu, saya akhirnya diam, berhenti mengkritik Jokowi.
Coba bayangkan, Teman-Teman!
Baru ditraktir makan saja sudah seperti itu. Apalagi jika MISALNYA saya ditawari beasiswa, diberikan modal usaha, dibelikan mobil dan rumah pribadi. Pasti saya akan jauh lebih keok.
Mahasiswa adalah generasi muda yang masih independen, jiwa mereka belum terkotori oleh begitu banyak kepentingan. Jika dalam keadaan masih independen pun harga diri mereka demikian gampangnya dibeli dengan sepiring nasi, bagaimana nanti jika mereka sudah dewasa, menduduki jabatan tertentu, atau menjadi pemimpin di negeri ini?
Teman-Teman Sekalian,
Cerita di atas FIKTIF BELAKA. Bagaimana mungkin saya bisa seperti itu? Demi Allah, SEMOGA TAK AKAN PERNAH TERJADI.
Saya menulis cerita di atas, hanya karena ingin menggambarkan MORAL para mahasiswa yang kemarin datang ke istana.
Semoga kita semua mendapat hidayah dan iman yang kuat. Aamiin....
Jakarta, 20 Mei 2015
@Jonru