Oleh: Nandang Burhanudin
Spliting politic adalah politik pemisahan negara, setelah sebelumnya melalui operasi devide et impera alias politik pecah belah. Targetnya, mempermulus jalan deklarasi Israel Raya 2025.
Negeri Irak dan Syiria (termasuk Libanon-Palestina), tak terlepas dari bayang-bayang pemusnahan. Palestina nyaris hanya tersisa 5 % dari total wilayah sebelum 1924. Libanon diharubiru konflik SARA. Syiria dan Irak tak bisa menghindar. Kini menjadi medan tempur yang tak ada ujungnya.
Seluruh kekuatan besar dunia, memiliki kepentingan di wilayah-wilayah tadi. Namun semua berujung pada spliting politic, yaitu menargetkan pembagian wilayah Irak-Syiria ke dalam 3 negara kecil berdasarkan SARA: Syiah, Sunni, dan Kurdi.
Operasi spliting politic dilakukan dengan memperkuat milisi-milisi bersenjata. AS-Rusia-China-Inggris-Perancis berikut Kanada-Israel-Australia-Jerman-Iran, memberi peran dan suplai logistik yang sama untuk ketiga kekuatan.
Spliting politic dirancang sejak 1973, usai kekalahan Israel atas pasukan Arab. Usai episode Cold War "Perang Dingin" antara Soviet vs AS. Dunia Barat bersepakat, menghancurkan dunia Arab dengan strategi spliting politic dan devide et impera.
Spliting politic menelan korban. Yaitu melibas diktator Arab yang dipandang terlalu kuat. Saddam Hussein dihancurkan. Qaddafi, Ben Ali, Mubarak. Untuk menggantikan peran mereka, dimunculkan kelompok garis keras ISIS, setelah peran AlQaeda dipandang "the end" dengan kematian Osama ben Laden.
Spliting politic menjadi tren. Tanpa pernah ada spanduk. Namun semua kebijakan lahir dari sebuah "tim perumus" handal. Terdiri dari para pakar, ilmuan, anggota militer pilihan, ahli ekonomi, ahli Islamic Studies, pakar bahasa, hingga pakar topografi sebuah negara. Muara dari semua itu kehancuran wilayah Islam dan kemudian dianeksasi atau dipecah menjadi negara-negara lebih kecil lagi dengan rejim baru yang lebih Yahudi dari Yahudi dan lebih Salibis daripada Kristen.
Hasilnya mudah ditebak. Umat Islam dan bangsa Arab bukannya memerangi Zionis, namun justru memerangi umat Islam sendiri. Grand design berhasil. Supaya tak terlalu kelihatan, sang dalang tetap menampilkan wajah galak. Sesekali mengutuk, memburu, namun di sisi lain mensuplai senjata. Bangsa Arab yang disatukan Islam kini saling membunuh. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Maka berikutnya, Zion dan sekutunya, tinggal memetik hasilnya.
Di Syiria dan Irak, ISIS mendapat peran istimewa. Bisa melakukan apa saja, tanpa pernah dijewer AS. Bisa jadi, Basyar Assad nanti dihabisi. Lalu Syiria dan Irak dipecah menjadi 3 negara kecil sesuai Newest Middle East Orde. Lalu yang jumawa dan super adalah Israel.
Di Mesir bisa dijadikan acuan. Mursi dan Ikhwanul Muslimin teramat dibenci, sedangkan si pembenci tidak mampu satupun kesalahan Ikhwanul Muslimin dan Mursi. Jika standar hukuman digunakan, maka si pembenci lebih berhak dihukum "hukuman mati". Spliting Politic berhasil, justru saat si pembenci itu berasal dari orang-orang atau organisasi yang mengaku paling Syariah, paling Sunnah, dan jargon perjuangannya paling sesuai dengan thoriqoh Rasul. AS-Barat-Israel-Iran merestui kudeta daripada proses demokrasi yang "dijual" selama ini. Sebagai konpensasi, membiarkan gerakan yang antidemokrasi bergerak walau tak sebebas di masa demokrasi zaman Mursi.
Kini spliting politic tengah menimpa Saudi Arabia. Namun nampaknya Raja Salman membaca arah ini. King Salman mendekati Turki-Qatar untuk membentuk blok baru. Salah satu klausulnya adalah: mengangkhiri Basyar Assad di Syiria dan menekan AS untuk mengurangi dukungan kepada Iran. Jika tidak waspada dan hati-hati. Turki pun terancam serangan yang sama. Maka wajar bila Erdogan, Raja Salman, Emir Qatar kini menjadi target caci maki golongan tertentu. Soliditas ketiga pemmpin ini layak mengimbangi spliting politic atau malah melakukan strategi yang sama terhadap Syiah Iran, Yahudi Israel, dan AS sendiri.
Saya menanti perkembangan politik Timur Tengah tiga-empat bulan ke depan. Semua perubahan bisa terlihat dari tumbangnya junta kudeta di Mesir. Jika tidak, Timur Tengah semakin sulit menghadapi blok Syiah yang didukung Yahudi-AS-Barat.