Oleh: Chaerol Riezal*
Kecuali bagi anda yang tinggal tanpa koneksi internet dan jauh dengan dunia ke-sejarah-an, anda seharusnya tahu bahwa 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional (HARKITNAS).
Setelah melalui perjalanan panjang dalam sejarahnya, pada abad ke-20 yang dapat dijuluki sebagai Abad Nasionalisme, yaitu suatu kurun waktu dalam sejarahnya yang menyaksikan pertumbuhan kesadaran berbangsa serta gerakan nasionalis untuk memperjuangkan kemerdekaannya, maka suasana di Nusantara saat itu mengalami babakan sejarah baru dengan hadirnya berbagai organisasi pergerakan dengan corak yang berbeda pula.
Kehadiran bangsa Barat pada abad ke-15, terutama kemunculan Belanda dengan VOC-nya sebagai pemegang monopoli perdagangan, politik dan kekuasaan di Nusantara, telah melahirkan perlawanan yang dihadapi masyarakat di mana-mana yang bercorak tradisional atau kerajaan. Pada akhir abad ke-19 dan memasuki awal pertama abad ke-20, berbeda dengan masa sebelumnya reaksi yang diberikan kepada Kolonial Belanda dengan mengendarai organisasi pergerakan. Maka dapatlah dikatakan periode 1900-1942 sebagai periode gerakan nasional yang dapat dibedakan dengan periode sebelumnya.
Bentuk reaksi modern bersifat rasional serta memakai sistem organisasi modern. Ideologi yang diusung pun cukup jelas, yaitu nasionalisme, sesuatu yang sungguh-sungguh baru di bumi Indonesia. Fase pertama gerakan nasionalis yang diawali oleh berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, kemudian disusul dengan Sarekat Islam, Jong Sumatra, Pasundan, dan lain sebagainya. Kesemuanya menunjukkan gejala penemuan kembali identitasnya, yang logis sekali masih terikat pada kebudayaan etnik masing-masing.
Baru generasi tahun dua puluhan berhasil merumuskan konsep nasionalisme Indonesia, yaitu pada tahun 1925 dengan Manifesto Politik yang dinyatakan oleh Perhimpunan Indonesia. Di dalam pernyataan itu tercakup prinsip-prinsip nasionalisme, antara lain: kebebasan, kesatuan, dan kesamaan. Tentu sudah pasti sifat nasionalisme itu antikolonial sehingga dalam rangka program perjuangan nasional tercantum prinsip nonkooperasi terhadap penguasa kolonial.
Sejarah pergerakan nasional terhenti oleh runtuhnya Imperium Belanda, sehingga belum memberi buah perjuangan yang penuh, namun hal itu tidak berarti bahwa gerakan itu sia-sia belaka. Secara tidak berlebih-lebihan dapat dinyatakan bahwa tanpa periode persiapan selama berlangsungnya gerakan nasional itu, revolusi fisik belum tentu terjadi atau 17 Agustus 1945. Kenyataannya ialah bahwa gerakan itu merupakan fase latihan dan persiapan berpolitik memperjuangkan kemerdekaan seperti termaktub dalam Manifesto Politik 1925.
Kehadiran kolonialisme di bumi Nusantara adalah fakta historis yang turut menentukan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Lebih-lebih untuk menerangkan gerakan nasionalis, kolonialisme adalah causa originalis-nya. Terdapat korelasi terus-menerus antara corak politik kolonial dengan sifat nasionalisme, terutama derajat radikalismenya.
***
Melihat fakta sejarah diatas, maka Pemerintah RI berdasarkan surat keputusannya secara resmi menetapkan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional dan diperingati setiap tahun. Ditetapkannya tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional ini, berdasarkan tanggal lahirnya organisasi Budi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908. Alasannya jelas; “dianggap” sebagai pelopor berdirinya organisasi pergerakan nasional lainnya yang tumbuh secara bertahap-tahap setelah Budi Oetomo berdiri.
Kenyataan bahwa 20 Mei adalah Hari Kebangkitan Nasional yang diambil dari tanggal berdirinya Budi Oetomo tersebut, telah mengundang berbagai kritikan dan kontroversi yang tak kunjung usai. Pendapat umum menyayangkan mengapa Hari Kebangkitan Nasional ini tidak diambil dari tanggal berdirinya organisasi pergerakan nasional lain selain Budi Oetomo. Walau begitu tanggal 20 Mei yang diambil dari Budi Oetomo ini, bagaimana pun penetapan tanggal ini tetap mendapat dukungan dari sebagian pihak, termasuk sejarawan. Itulah sebabnya mengapa penetapan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, adalah cerita sejarah yang tak kunjung selesai, paling tidak sampai sama kini. Penetapan tanggal 20 Mei, seperti halnya penetapan tanggal sejarah lainnya yang diperingati setiap tahun, serupa namun tak jauh berbeda dengan penetapan tanggal sejarah lainnya.
Kebanyakan pemimpin Indonesia kerap kali melakukan kesalahan yang sama, dalam hal memilih dan menetapkan tanggal penting dalam sejarah untuk diperingati setiap tahun secara nasional, tidak terlepas dari kekuasaan di Jakarta. Kesalahan-kesalahan tersebut dapat dilihat dari; penetapan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional, 21 April sebagai Hari Kartini (Perempuan Aceh lalu mengapa Kartini), atau 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Tak jarang, penetapan tanggal tersebut mengundang kritikan bagi mereka yang mengikutinya. Sewajarnya penetapan tanggal itu, dipilih bukan berdasarkan dengan kekuasaan yang ada.
Kita tahu, Jakarta memang mempunyai kekuasaan penuh dalam menetapkan tanggal sejarah secara nasional atau juga daerah. Kita semua juga tahu bahwa semua tokoh daerah yang bergelar pahlawan nasional dianugerahi oleh Pemerintah RI yang berkedudukan di Jakarta melalui surat keputusan atau keputusan presiden (Keppres atau sejenisnya). Dengan begitu, apakah dapat dikatakan bahwa keputusan terakhir tentang sejarah nasional berada di Jakarta?
Terlebih lagi jika hal-hal tersebut juga memiliki hubungan dengan mereka. Tujuannya jelas agar mereka tidak kalah dari sejarah daerah lainnya dan, jika ada hal yang kurang menyenangkan terjadi kepada mereka, (mungkin kita akan) menemukan alasan untuk tertawa di atas derita. Derita sejarah lokal adalah bahagia untuk nasional (Jakarta), begitu pula sebaliknya. Jika tidak percaya, silahkan buka sejarah dan, kita akan menemukan salah satunya, Tengku Muhammad Daud Beureueh (tokoh dan ulama Aceh) sebagai korbannya. Bahwa Tengku Muhammad Daud Beureueh yang sejak semula mendukung penuh proklamasi Indonesia dan ikut mempertahankan kemeredekaan, serta menggabungkan Aceh ke dalam Indonesia, pada akhirnya harus menerima kenyataan pahit bahwa Daud Beureueh adalah seorang pengkhianat negara dengan DI/TII yang diusung-nya.
Terlepas dari pro dan kontra, saya tidak habis berpikir bagaimana mungkin seorang Daud Beureueh yang telah mengajak rakyat Aceh untuk membantu Indonesia demi misi mempertahankan kemerdekaan Indonesia, telah dicap sebagai pengkhianat dengan gerakan separatisnya. Bagaimana mungkin ia bisa dicap sedemikian, sedangkan ia kala itu hanya menuntut 3 perkara hak Aceh yang diimingkan Indonesia pada saat Soekarno bertolak ke Aceh. Karena 3 perkara tidak dipenuhi, maka wajar bagi saya Daud Beureueh (merasa kecewa) harus menuntut dan melawan Indonesia dengan DI/TII-nya. Sepertinya kita harus menemui sejarawan untuk menemukan jawabannya (mungkin). Sejarah perselisihan panjang kedua belah pihak sejarah lokal dan nasional menyimpan banyak cerita bahagia diatas derita; yang tidak harus berasal dari momen-momen yang secara langsung mempertemukan sejarah lokal dan nasional.
***
Beberapa orang menolak, mengkritik dan menghujat bahkan menggugat untuk 20 Mei sebagai HARKITNAS. Sementara beberapa lainnya merasa tidak ada yang salah dan baik-baik saja mengabdi untuk nasional setelah membela sejarah lokal atau sebaliknya. Di antara para penyeberang, terdapat nama-nama yang semula terlibat dalam menghadirkan buku standar sejarah nasional jilid 1-6. Satu diantaranya adalah Asvi Marwan Adam sejarawan LIPI, yang ikut melayangkan kritikan kepada 20 Mei sebagai HARKITNAS. Ia menilai bahwa penetapan 20 Mei yang diambil dari tanggal berdirinya Budi Oetomo tidak layak disebut sebagai pelopor kebangkitan nasional. Disini Asvi bukanlah satu-satunya orang yang mengkritisi proses penetapan 20 Mei, masih banyak pihak-pihak yang ikut menyuarakannya.
Namun, sebelum hujan kritikan ini datang dan di alamatkan kepada 20 Mei, sesungguhnya cerita baru saja dimulai ketika kabinet Hatta bersama Soekarno dan beberapa orang lainnya, pada tahun 1948 telah memutuskan dan menetapakan tanggal 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Latar belakang penetapan 20 Mei; memang, harus kita akui bahwa kondisi Indonesia ketika itu sedang berada di ujung tanduk –setelah mengumandangkan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mempertahankannya paling tidak sampai 1949 –secara bertubi-tubi Indonesia menghadapi serangan yang membabi buta dari agresi militer Belanda I dan II yang seketika membuat Indonesia hilang kecuali Aceh –akhirnya diputuskanlah tanggal 20 Mei sebagai hari kebangkitan nasional. Tujuannya jelas; agar rasa persatuan dan kesatuan tetap terjaga.
Saya berkesimpulan –belum pasti benar tentunya dan terbuka untuk perdebatan –itulah sebabnya mengapa penetapan tanggal sejarah ini, memunculkan begitu banyak pihak; orang mengkritisi, –orang yang membela dan bertindak–, dan orang setengah, diam dan tidak tahu apa-apa. Tengoklah di awal proses penetapan tanggal 20 Mei, yang kelihatan terburu-buru, sangat terkesan dipaksakan, dengan jiwa yang gelisah dan sangat berpengaruh di kemudian hari. Kalaupun penetapan 20 Mei tidak dengan alasan keadaan sedang meruncing dan demi untuk persatuan dan kesatuan, maka penetapan tanggal ini bisa dilandasi dengan akal yang sehat, dan sudah barang pasti banyak diantara anak bangsa yang datang dan menyerap inspirasi tentang Hari Kebangkitan Nasional.
Kendati demikan, yang menjadi keheranan saya untuk waktu yang lama dan sempat membuat saya sendiri ragu dengan posisi 20 Mei; mengapa dikalangan pemuda Hari Kebangkitan Nasional tidak tercerminkan (seperti para pemuda pergerakan nasional terdahulu)? Kapan terakhir kali Indonesia dibangkitkan dengan Hari Kebangkitan Nasional? Bukankah Indonesia ini mempunyai sejarah panjang tentang pergerakan nasional? Kapan terakhir kali Indonesia melahirkan pemuda pergerakan nasional sekelas dengan para pemuda pelopor gerakan nasionalisme Indonesia? Kapan Indonesia mempunyai pemuda yang bisa mengubah wajah Indonesia dari keterbelengguan ini dalam wadah organisasi dengan ketidaklumrahan visi, imajinasi, pergerakan dan keterampilan. Jawaban terakhir untuk pertanyaan tersebut adalah “Reformasi 1998”.
Adalah benar bahwa saya mereduksinya hanya dalam sebatas mahasiswa. Lebih dari itu karena pada akhirnya adalah apa yang kita lihat di lapangan. Lebih jauh lagi saya hanya membatasinya ditingkat organisasi dan partai politik yang tumbuh bak jamur di musim hujan. Beberapa hari yang lalu ada pertanyaan bagus yang muncul saat diskusi kecil-kecilan di sebuah warung kopi dari kalangan mahasiswa dan pemuda setingkat saya. Pertanyaannya adalah kalau Napoleon Bonaparte lahir dan besar di Indonesia, akankah ia bisa menjadi Napoleon yang kita kenal di kemudian hari?
Kesepakatan jawaban terbesarnya adalah tidak. Atau setidaknya ia tidak akan sehebat seperti ketika Napoleon cs. berhasil menggerakkan Revolusi Perancis dan melambungkan namanya. Kultur budaya dan sosial atau sebagainya di Indonesia tidak akan mengijinkannya untuk berbuat “seenaknya” dengan alasan apapun termasuk di dalamnya pembelakuan kasta sosial, bahkan dengan sosok yang tidak lumrah. Ia pasti akan dipaksakan tunduk pada sistem. Misalnya, Indonesia pada masa pemerintah Hindia Belanda menerapkan peraturan/UU karet kepada organisasi pergerakan untuk membatasi ruang dan gerakannya. Indische Partij merupakan salah satu contohnya.
***
Jika boleh dianalogikakan, Pemerintah RI dan para pengkritik 20 Mei adalah dua hal yang terbaik untuk menggambarkan Hari Kebangkitan Nasional pada saat ini. Pemerintah RI takkan berani untuk duduk satu meja secara langsung dengan para penyeberang 20 Mei, karena takut setiap kali Pemerintah RI mengucapkan “20 Mei Budi Oetomo”, mereka akan menjawab “Sarekat Dagang Islam atau Sarekat Islam”. Maka dalam hal ini Pemerintah RI butuh pihak ketiga untuk mengatakan sanggup menangkis para pengkritik 20 Mei atau Budi Oetomo tersebut, dan tak kurang ada beberapa pihak yang membela Pemerintah RI, bahkan sejarah termasuk di dalamnya.
Pemerintah RI jelas akan menolak tawaran untuk menggantikan Hari Kebangkitan Nasional selain tanggal 20 Mei. (Mungkin) Pemerintah RI sudah pernah merasakan dan berada dalam posisi ini sebelumnya. Atau paling tidak, kritikan hanya datang tepat pada tanggal itu diperingati selama 1 hari dari 365 hari yang ada. Selebihnya, telah diprediksi akan bungkam dan diam seribu bahasa dengan berbagai alasan. Kalkulasi seperti ini sudah ramai dibicarakan oleh banyak orang, bahwa 20 Mei hanya sekali bertemu dalam satu tahun yang sama dan itu hanya berlangsung selama satu hari.
Adalah hal yang lumrah dilakukan kebanyakan orang saat tanggal sejarah itu tiba ramai-ramai dibicarakan dan dikritisi, peluang tersebut terlalu baik untuk dilewatkan oleh sebagian orang. Jika pengkritik 20 Mei hanya bersuara tepat pada hari itu juga dan setelah itu kita tidak mendengarkan lagi adanya sentimen yang sama, maka Pemerintah RI dapat mendongakkan kepala dengan pongah. Mungkin memang karena 20 Mei hanya datang 1 hari selama 1 tahun, setidaknya untuk tahun ini. Namun banyaknya kedatangan kritikan ke 20 Mei diprediksi bisa menciptakan momentum letupan baru dan dapat mempengaruhi opini banyak orang seperti yang dilakukan dulu; terbongkarnya dokumen dan pengakuan kader bahwa Budi Oetomo anti Islam, organisasi sempit dan tidak mencita-citakan Indonesia merdeka atau nasionalisme.
Jika nanti Hari Kebangkitan Nasional telah usai, artinya tidak ada lagi orang yang mengkritisi dan dapat membangun kembali pergerakan nasional Indonesia, para pendukung 20 Mei dan Pemerintah RI bisa menyalahkan para pengkritik 20 Mei. Para penyeberang 20 Mei bisa saja mengkritik, menghujat, mengugat bahkan mendesak agar digantikan tanggal 20 Mei dengan yang lain seperti yang telah dilakukan sebelumnya, atau membiarkan 20 Mei yang sedang sekarat terus berada dalam kubangan. Ia bisa saja menghujamkan belati ke jantung para pembela 20 Mei yang akan mengakhiri dominasi 20 Mei Budi Oetomo sebagai HARKITNAS lebih dari seabad dan mencoba menggeserkannya dengan tanggal organisasi pergerakan yang lain (hitungan seabad lebih berdasarkan berdirinya BO, bukan pada saat ditetapkan 20 Mei).
Tapi para pengkritik tidak melakukannya dengan membiarkan hari-hari setelah peringatan 20 Mei, tidak dihujani kritikan seperti halnya kritikan yang datang pada saat peringatan 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional yang sangat identik dengan Budi Oetomo. Seperti yang diceritakan diatas, 20 Mei yang diambil dari tanggal berdirinya Budi Oetomo dan ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional, cerita sejarah tentang 20 Mei tidak akan pernah selesai atau paling tidak untuk tahun ini dan beberapa tahun ke depan. Akan ada banyak waktu nanti untuk kita kembali mendengarkan suara-suara tentang 20 Mei yang akan di dengungkan.
*Penulis, adalah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Syah Kuala, Banda Aceh – Darussalam, Angkatan 2011.