Hari ini, tepat di 107 Tahun usia Kebangkitan Nasional, beredar foto aktivis mahasiswa bersama Presiden Joko Widodo usai makan malam. Berlatar Istana Negara, mereka yang merupakan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tampak sumringah bersama presiden pilihan rakyat. Saya tak tahu apa yang mereka pikirkan saat itu sehingga membuat senyum mereka merekah. Apakah lauk pauk yang lezat saat bersantap malam dengan Jokowi? Atau karena bahagianya berfoto bersama dengan presiden yang belum satu semester menjabat, tapi sudah menaikkan harga BBM hingga membuat rakyat tercekik?
Saya tak tahu persis apa yang bersemayam di benak mereka. Tapi satu hal yang pasti, mereka asyik masyuk berfoto ria bersama Jokowi di tengah kondisi bangsa yang tak seindah diberitakan www.detik.com, Metro TV dan kompatriotnya. Negeri ini kian amburadul dan rakyat kecil semakin sengsara.
Bagaimana bisa para aktivis itu cengengesan bersama Jokowi sementara seorang pedagang nasi uduk di Bekasi resah karena membeli beras plastik?
Bagaimana bisa para aktivis yang dengan gagahnya mengenakan jaket almamater itu asyik bersantap malam di Istana Negara, sementara jutaan rakyat kesulitan makan akibat harga lauk pauk yang membubung tinggi?
Bagaimana bisa para aktivis yang mengaku sebagai agen perubahan tersenyum bahagia mengapit Jokowi, sementara nelayan banyak berwajah murung karena kesulitan melaut akibat solar yang meroket harganya?
Bagaimana bisa mereka sangat enjoy dengan seorang presiden yang bahkan tak tahu apa isi surat yang ditandatanganinya?
Bagaimana bisa…bagaimana bisa…Tapi nyatanya mereka bisa.
Bawalah foto itu. Lalu kalian susuri pasar tempat dimana harga semakin tidak bersahabat. Jika tak percaya, tanyakan saja kepada ibu kalian betapa sulitnya mengatur uang belanja. Kemudian kalian bertanya pada hati nurani, pantaskah aku berfoto?
Bawalah foto itu. Lalu kalian hampiri rumah warga yang mengeluh dengan tarif listrik yang naik dan harga gas yang tak terkendali. Kemudian kalian bertanya pada hati nurani, pantaskah aku berfoto?
Bawalah foto itu. Lalu kalian naik angkot yang tarifnya tetap tak mau turun meski harga BBM berubah. Kemudian kalian bertanya pada hati nurani, pantaskah aku berfoto?
Saya masih ingat dengan kenangan 17 tahun silam saat bersama mahsiswa lainnya berjuang menurunkan Soeharto. Gas air mata sudah kami rasakan. Peluru karet dan timah panas seolah menjadi teman kami. Dan saya pernah terjebak di tengah-tengah desingan peluru saat aksi di kampus.
Tak sempat kami melancong ke Istana Negara bertemu Presiden Soeharto. Tak sempat kami menyantap hidangan makan malam dengan kursi empuk. Tak sempat pula kami foto bersama sambil cengar-cengir.
Apakah karena kita hidup di zaman yang berbeda? Dulu kami belum mengenal gadget, masih menggunakan pager dengan suara khasnya tuitt..tuittt..saat pesan datang. Kami juga belum mengenal tongsis, facebook, twitter dan lainnya.
Ah rasanya tidak. Era kita boleh berbeda, tapi semangat perubahan itu selalu sama dan ia mengendap di jiwa mereka yang mengaku dirinya sebagai aktivis. Keresahan dan kegelisahan itu tak mengenal ruang dan waktu. Tanyakan saja pada Natsir, Soekarno, Tjokro, aktivis 66, 74 dan 98.
Sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur. Aksi narsis aktivis sudah terjadi ditengah kondisi bangsa yang menuju titik nadirnya. Ini bukan lagi membuat kita malu menjadi orang Indonesia seperti yang disampaikan Taufik Ismail dalam puisinya. Tapi menjadi kado pahit saat bangsa ini sedang merayakan 107 tahun Kebangkitan Nasional.
Erwyn Kurniawan
Pemimpin Redaksi www.kabarumat.com
*Sumber: www.kabarumat.com