By: Nandang Burhanudin
Saya tak terlalu kaget dengan sikap BEM se-Indonesia yang "bocor halus" dalam pembelaannya terhadap kepentingan rakyat. Tentu bukan canggihnya "nasi bungkus" atau "sesajen istana" yang mebuat barisan mahasiswa menjadi "merem melek" dan tak lagi mampu menjadi penyeimbang kekuasaan rezim diktator "plongo-plongo". Namun lebih dari semua itu, memang tak ada satupun ormas, orpol, hingga barisan kaum intelektual yang tak tersentuh "tongkat sihir" intelejen.
Kita sebagai rakyat hingga kini pun tak pernah siuman, bahwa kekuasaan Jokowi dari awal dan hingga kini memang dikontrol intelejen. Jokowi sangat mirip dengan As-Sisi di Mesir, hanya dengan cara dan metode yang berbeda. Jika di Mesir As-Sisi diberikan kebebasan membunuhi seluruh rakyatnya sekalipun, ia tak akan "tersentuh" hukum internasional. Jokowi pun sama. Apapun kebijakan yang merugikan atau aneh bin nyeleneh, tak akan ada yang berani "mempermasalahkan". Mengapa? Sebab semua celah, sudah disiapkan operasi supercanggih. Walau bisa berakibat pada "penghilangan nyawa" siapapun yang mencoba mengungkit "bigboss".
Jadi bila BEM mahasiswa berasa intelejen, sangat wajar. Hal yang lumrah menimpa orpol, ormas, bahkan LSM atau tokoh-tokoh tertentu yang sudah sering tampil di TV. Operasi intelejen meliputi:
1. Rayuan materi (beasiswa, modal, akses jabatan, jenjang karir)
Pemiskinan yang sangat terstruktur, sungguh ampuh menaklukkan siapapun ..tanpa terkecuali. Meraih jabatan di BEM, orpol, ormas, LSM itu hanya sesaat saja. Paling lama 1-5 tahun. Jungkir balik pun bekerja, tak akan menghasilkan apa-apa, selain peluh. Coba sedikit pragmatis, siapapun kita akan termehek-mehek saat diundang "ISTANA". Jika rezim "odong-odong" berkuasa 5 tahun, lumayan bisa mengakses. Lalu misalnya saya masih tingkat 3 kuliah, maka dipastikan jenjang S-2 bisa ke LN dengan biaya negara. Jangan salahkan mahasiswa, toch para senior yang di legislatif, yudikatif, eksekutif, NGO melakukan hal yang sama.
2. Rayuan wanita
Saya tak terlalu heran jika ada orang yang "merasa terkenal" lalu mengeluarkan statement aneh bin nyeleneh. Kini tidak lagi mengencingi air zamzam atau Ka'bah. Bahkan ada yang berani melecehkan "Dzat Allah" sendiri. Bukan curiga. Namun berdasarkan pengakuan Sayyid Quthb saat awal mendapatkan beasiswa ke Amerika. Lebih dari 3 kali dalam perjalanan di kapal laut hingga di penginapan, jebakan wanita itu hadir. Namun Sayyid Quthb di saat "Jahiliyahnya" pun tak tergoda dengan jebakan betmen. Wajar bila saat taubat, ia memilih tiang gantungan.
3. Ancaman pembunuhan atau kriminalisasi
Masih ingat Prof. Baharudin Lopa, Hakim Saifuddin, Munir, hingga LHI. Pelenyapan nyawa adalah hal lumrah. Sebab doktrin intelejen adalah: agen handlers atau "tuan si pemberi perintah" adalah tuhan yang tak boleh tersentuh. Pelenyapan nyawa pihak-pihak yang dianggap pengganggu, bagian dari tupoksi baku. Maka kita tak boleh aneh, bila kriminalisasi LHI tidak berlaku untuk yang lain. Pun sebagaimana pemeriksaan Gubernur Aher atas dugaan korupsi di GBLA tidak berlaku kepada AHOK atau Jokowi. Mengapa? Sebab semua mengikuti arahan agen handlers.
Sudah ya. Cukup sekian. Khawatir saya diundang ke istana atau sekolah yang saya rintis nanti disumbang bapak Jokowi, dan lantas saya pun menjadi "penulis citarasa intelejen".