London - Sondos Asem, aktivis perempuan anggota Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), adalah salah satu terdakwa yang mendapat vonis hukuman mati in absentia oleh pengadilan Mesir pada hari Sabtu (16/5/2015), dan satu-satunya wanita yang menerima hukuman mati dari total 107. Diantaranya Presiden Mursi, Syaikh Al-Qaradhawi, Mohamed al-Baltegy, Khairat al-Shater.
Sarjana Sastra Inggris dan menerima gelar Master di jurnalisme dan komunikasi massa di American University of Cairo ini sebelumnya bekerja sebagai koordinator media asing di kantor Presiden Mursi sebelum kudeta.
Sondos divonis hukuman mati oleh pengadilan rezim Mesir atas tuduhan aksi spionase dengan Hamas. Salinan putusan hukuman mati terhadap Sondos dan 100-an tokoh IM lain dikabarkan sudah dikirimkan kepada Mufti Agung Mesir pada 16 Mei 2015 untuk dimintai persetujuan sebelum eksekusi hukuman mati dilaksanakan.
Menanggapi hal itu, Sondos yang saat ini sedang studi di Oxford University’s Blavatnik School of Government di Inggris, mengirimkan pesan melalui akun Facebooknya, seperti diterjemahkan El-Shaab, Selasa (19/5/2015) yang lalu. Berikut pesannya:
"Teman-teman sekalian.. Aku mendengar berita dari Mesir tentang vonis mati yang dijatuhkan kepadaku dan kepada Presiden Mursi, beberapa pembantunya, beberapa tokoh umum, dan tokoh oposisi, dalam kasus spionase. Vonis itu didasarkan kepada tuduhan yang mengada-ada dan politis. Bahkan vonis ini juga cacat hukum karena tidak memenuhi standar peradilan yang sesuai dengan undang-undang Mesir dan dunia.
Seperti halnya ribuan anak muda yang saat ini mendekam dalam penjara-penjara Mesir karena aktivitas politik mereka, aku juga tidak pernah membayangkan akan menjadi terdakwa dalam pengadilan selesai revolusi di Mesir. Bahkan hanya karena aku bekerja sebagai koordinator media asing di kantor Presiden Mursi yang terpilih dalam pemilu demokratis.
Namun, sekarang seluruh dunia mengetahui bagaimana sebenarnya pengadilan dagelan di Mesir, dilaksanakan oleh perangkat peradilan yang telah kehilangan independensi dan netralitasnya. Pengadilan yang saat ini sudah menjadi alat politik di tangan penguasa kudeta militer, yang telah melakukan pelanggaran HAM terberat sepanjang sejarah Mesir.
Aku akan berjuang melalui semua jalur hukum yang memungkinkan untuk menentang tuduhan yang berdasar ini. Walaupun aku pun sadar, tidak mungkin mendapatkan pengadilan yang adil di bawah kekuasaan kudeta di Mesir saat ini.
Aku telah mendapatkan dukungan teman-teman dari seluruh dunia yang juga mencemaskan keselamatanku sejak mendengarkan berita vonis ini.
Alhamdu lillah, saat ini aku berada di Inggris, belajar ilmu politik di Universitas Oxford yang sudah kumulai setahun lalu. Sangat disayangkan, aku tidak mempunyai rencana dan cara bagaimana pulang ke Mesir saat ini. Vonis ini membuatku mustahil bertemu keluarga dalam waktu dekat ini.
Terima kasih untuk dukungan kalian semua. Sondos Asem."
Sumber: El-Shaab, Dakwatuna