Menkumham Yasonna H Laoly dituding sebagai pihak yang menghendaki konflik di tubuh Partai Golkar tak kunjung kelar. Tuduhan ini muncul lantaran menteri asal PDIP itu mengajukan banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang memenangkan kubu Aburizal Bakrie (Ical).
"Masyarakat mendesak untuk mempersatukan Partai Golkar dan bukan malah memperuncing kisruh kepengurusan dengan mengajukan banding atas putusan PTUN. Legowo saja begitu. Artinya untuk apa lagi proses banding," ungkap Dewi Haroen, pakar psikologi politik dari Universitas Indonesia (UI) kepada INDOPOS (Grup JPNN), Rabu (20/5).
Menurut Dewi, penyatuan kepengurusan Partai Golkar sangat penting untuk menjaga stabilitas politik jelang pemilihan kepala daerah (pilkada) yang dilakukan secara serentak pada Desember 2015 mendatang.Tujuannya agar semuanya lancar. Seharusnya Yasonna menjadikan putusan PTUN sebagai momentum memediasi kisruh Partai Golkar.
"Artinya memediasi, dengan cara Menkumham sendiri. Biar bisa menyatu, enggak usah rame-rame lagi," tukasnya.
Hal senada dikatakan Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah, yang menyebut langkah Menkumham yang mengajukan banding membuat masalah tambah rumit. Sebab, dalam rapat konsultasi DPR dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Senin (18/5) lalu, presiden sudah mengatakan, pemerintah tidak akan mengajukan banding.
"Pak Jokowi sudah janji ke kita. Katanya Pak Laoly tidak banding. Ternyata banding," tandasnya.
Fahri menilai, Presiden Jokowi harusnya menepati janji yang telah dia buat dengan menginstruksikan Menkumham untuk tidak mengajukan banding. Langkah banding ini, hanya akan memperpanjang konflik yang terjadi antara kubu Ical dengan kubu Agung Laksono.
Berdasarkan Peraturan KPU, sambung Fahri, parpol yang berselisih baru dapat mengikuti pilkada apabila sudah memiliki putusan yang berkekuatan hukum tetap atau sudah islah. "Ini masalahnya apa? Masa sih presiden bersilat lidah ke DPR? Ya sudahlah. Susah kalau presiden kita tidak dianggap menterinya," tutup Fahri. (aen)
Sumber: JPPN