Dipimpin Menteri Susi, Ekspor Perikanan Anjlok-Kemiskinan Nelayan Meningkat


Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) turut berkontribusi dalam penurunan ekspor nasional pada sektor perikanan. Menurut data dari KKP,  volume ekspor produk ikan Indonesia triwulan I-2015 hanya 245.084,9 ton atau turun 16,5% dibandingan periode yang sama tahun lalu sebesar 263.624,4 ton. Sedangkan nilai ekspornya mencapai US$ 969 juta atau turun 9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 1,068 miliar.

Tidaklah tepat apabila penurunan ekspor tersebut dikarenakan perubahan iklim. KKP sendiri telah mengakui bahwa larangan bongkar muat hasil perikanan di tengah laut (transhipment) menjadi faktor ‎penyebab turunnya ekspor perikanan Indonesia selama kuartal I/2015. (http://ekbis.sindonews.com/read/995821/34/ekspor-perikanan-turun-akibat-larangan-transhipment-1430382800)

Hasil tangkapan ikan yang disimpan di UPI (Unit Pengolahan Ikan) juga dilarang diekspor melalui kapal ekspor ikan. Menteri KKP harus menyadari bahwa akibat kebijakannya bukan hanya menurunkan angka ekspor ikan kita tetapi meningkatkan angka pengangguran dan kemiskinan pula. Betapa tidak, moratorium yang telah berakhir pada 30 April 2015 yang lalu diperpanjang lagi hingga 6 bulan kedepan melalui Peraturan Menteri (PERMEN) No 10 KP/2015.

Kelihatannya Menteri KKP akan membolehkan kegiatan transhipment kembali guna meningkatkan nilai ekspor sektor perikanan kita. Kenapa baru menyadari hal ini? Bukankah harus dikaji terlebih dahulu plus minusnya sebelum menerbitkan PERMEN? Oleh karena angka ekspor dari sektor perikanan ini anjlok, lalu Menteri KKP ingin menaikkan PNBP (Pendapatan Negara Bukan Pajak) sebesar Rp. 1,5 Triliun di Tahun2015 atau naik 6 kali lipat atau 500%?

Beban para pelaku usaha perikanan tangkap akan semakin bertambah apabila KKP mengeluarkan kebijakan yang instan itu dan sudah pasti akan menuai protes. KKP atau BUMN Perikanannya harusnya dapat mencoba mengoperasikan kapal penangkap ikan selama setahun saja, dan lihat hasilnya, apakah setara tidak dengan PNBP yang direncanakan. Rasanya para pelaku usaha perikanan akan dengan senang hati menyewakan kapalnya ke KKP dari pada dikenakan PNBP yang berlipat-lipat itu.

KKP juga dinilai terlalu lebay. Kecurigaan mengekspor ikan langsung tanpa lapor (unreported) harusnya bisa ditangani tanpa harus menghentikan kegiatan operasional para pelaku perikanan itu. Kecurigaan yang berlebihan juga dialami kapal-kapal perikanan bekas buatan luar negeri dimana Menteri Susi pernah mengatakan 99% kapal eks asing mencuri ikan. Ini termasuk perusahaan perikanan nasional maupun perusahaan PMA. (http://finance.detik.com/read/2015/02/24/193729/2842021/4/menteri-susi-99-kapal-eks-asing-mencuri-ikan)

Masyarakat perlu tahu dari pernyataan Menteri Susi, mana kapal yang dikategorikan mencuri ikan sehingga jangan dibilang Asbun (asal bunyi). Kalaulah benar 99% persen mereka mencuri ikan, lalu dimana fungsi aparat penegak hukum seperti TNI AL, Pol Air, dan PSDKP (Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan) selama ini? Dari dulu pemerintah kita terus memberantas illegal fishing hanya saja tidak terlalu diekspose oleh media. Dulu pencitraan itu tidak diperlukan untuk suatu tujuan.

Perlu diingat untuk mensejahterakan rakyat, pemerintah harus mau mendengar dan harus dapat bekerja sama dengan para pelaku usaha yang dalam hal ini adalah pelaku usaha perikanan dari skala kecil, menengah sampai skala besar termasuk perusahaan penanaman modal asing (PMA).

KKP tidak harus selalu fokus pada pencurian ikan. Masih banyak lagi pekerjaan KKP. Contoh, bagaimana para nelayan tradisional dari mengoperasikan kapal kecil/sedang menjadi naik kelas ke kapal yang lebih besar, sehingga bisa beroperasi di ZEEI dan bisa bersaing dengan para pelaku usaha perikanan besar pula.

Perlu juga dipikirkan bagaimana supaya BUMN Perikanan melakukan trading, dapat membantu masyarakat nelayan dengan cara apakah menyangga atau membeli ikan-ikan dari masyarakat nelayan maupun dari pelaku usaha perikanan besar, sehingga pasokan ikan pun tetap terjaga dan tidak dijual ke luar negeri. Selama ini harga dalam negeri tidak dapat bersaing dengan harga ekspor.

Pelaku usaha perikanan jangan selalu disalahkan. Buat regulasi yang tepat. Rangkul mereka. Kita juga butuh pelaku usaha besar untuk meningkatkan devisa dan menggerakkan usaha di sektor perikanan. Disinilah dibutuhkan pembinaan dari pemerintah. Moratorium yang berkepanjangan ini justru tidak hanya menurunkan angka ekspor kita tetapi malah meningkatkan angka pengangguran.

Demikian ditulis Ogy Triwan di Kompasiana, Rabu (6/5/2015).

Apa yang disampaikan Ogy Triwan sejalan dengan DPR RI. Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Herman Khaeron melihat kinerja menteri KKP belum optimal.

"Menteri Kelautan dan Perikanan layak dipertimbangkan untuk direshuffle," katanya di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa 5 Mei 2015.

Menurutnya kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti, belum menyejahterakan rakyat. Bahkan ia menyindir berbagai aksi Menteri Susi.

"Ukuran dari keberhasilan mensejahterakan rakyat, bukan hanya meledakkan kapal semata. Tidak hanya dengan membuat kebijakan melarang menggunakan pukat tanpa ada solusinya," katanya seperti dilansir VIVAnews.

Baca juga: Tiba-tiba Menteri Susi Titip Pesan Untuk Penggantinya


Baca juga :