Oleh Ahmad Dzakirin*
Media Sosial atau Medsos menjadi medan pertarungan lain di antara pelbagai kekuatan politik di Turki. Bagi AK Parti, aksi protes massa di Gezi menjadi momentum kebangkitan sekaligus kesadaran pentingnya pengelolaan media ini untuk membela pemerintah dan mengkonter kritik-kritik lawannya.
Aksi protes anti pemerintah yang berakhir rusuh ini memanfaatkan medsos sebagai sarana propaganda yang efektif. Undangan untuk ikut aksi melalui medsos dan hashtag #anti.pemerintah menjadi viral dalam waktu singkat.
Pemerintah Erdogan kelabakan. Citra pemerintah terpuruk di dunia internasional dan laiknya domino effect, ekonomi Turki sempat limbung. Erdogan berang dan menuduh pelbagai rangkaian aksi anti pemerintah, sebagai konsertasi sistemik untuk menjatuhkan pemerintahnya melalui tangan-tangan domestik.
Sebagai respon, pemerintah mengetatkan kebebasan medsos melalui ratifikasi UU baru. Momentum penyebaran penyadapan telpon dan pembocoran dokumen negara melalui twitter dan youtube menjadi entry point bagi pemerintah untuk meloloskan UU baru.
Pemerintah mengancam akan menutup kedua provider tersebut jika tidak mematuhi hukum Turki dengan self-censorship. Jika pada awalnya menolak karena alasan kebebasan, pada akhirnya youtube dan twitter tunduk kepada tuntutan pemerintah Turki setelah sempat 24 jam diblok.
Ketika perdebatan berfokus kepada isu pengekangan kebebasan, AK Parti secara cerdik berkelit. Menurut mereka, pemerintah sedang meregulasi penyedia jasa layanan yang terikat hukum dan kepentingan ekonomi, bukan mengekang ekspresi kebebasan individu.
Pada awalnya, kelompok oposisi berharap presiden Abdullah Gul memveto UU yang dianggap mengekang kebebasan ini. Namun dalam lawatannya ke Bulgaria, Gul menegaskan bahwa dirinya memahami pentingnya ratifikasi UU tersebut untuk alasan keamanan nasional. “Anda tidak dapat melakukan apapun untuk alasan kebebasan,” dalihnya. Upaya membentukan Gul versus Erdogan gagal. Lingkaran AKP dalam birokrasi solid mendukung ratifikasi UU tersebut.
Tidak sekedar meratifikasi UU, AK Parti juga mulai membangun kekuatan sosial medianya sendiri. Beberapa figur kunci AK Parti sendiri sebenarnya adalah pengguna aktif medsos, seperti Mehmet Şimşek, Menteri Keuangan, Melih Gökçek, Walikota Ankara dan penasehat Ak Parti, İbrahim Kalın. Kendati sangat kritis terhadap media, Erdogan sendiri adalah pengguna aktif socmed dan sekaligus media darling dengan tidak kurang 3,4 juta follower.
AK Parti mulai membangun 6000 pasukan medsos untuk mempromosikan agenda partai dan sekaligus bertarung dengan lawan-lawan politiknya. AK Parti secara bertahap melatih mereka untuk menjadi representasi partai dan menempatkannya di basis-basis anti pemerintah atau wilayah dengan penggunaan media sosial tinggi. 1000 orang di Istanbul, 600 di Ankara, 400 di Izmir, basis tradisional sekuler dan selebihnya disebar diseluruh wilayah Turki.
Pada umumnya, kebanyakan tentara medsos AKP anonim dan lebih suka menggunakan simbol-simbol khusus, seperti Rabiah, tanda empat jari sebagai dukungan kepada pemerintahan Muhammad Mursi. Mereka mengolah isu-isu tertentu dan menjadikannya hashtag popular di dunia maya. Dalam pemilu kali ini, mereka memasang hashtag popular dan memuat pesan yang kuat, diantaranya, “Onlar Konusur AK Parti Yapar” (Mereka Berbicara, AK Parti bekerja).
Diantara mereka ada juga yang berperan sebagai troll, istilah dunia maya kepada para pengguna medsos yang provokatif dan seringkali intimidatif. Mereka bertugas menyerang lawan atau membenturkan pelbagai pandangan lawan dengan kecenderungan pandangan konspiratif. Konon lawan sepadan AK Parti dalam penggunaan dan pengelolaan isu medsos adalah kelompok Gulenis, sekutu yang berubah seteru.
*Ahmad Dzakirin, seorang pengamat Timteng, penulis buku 'Kebangkitan Pos-Islamisme AKP Turki', berbagi catatan seputar Pemilu Turki -- langsung dari Turki. Turki akan menggelar Pemilu Legislatif 7 Juni mendatang.