Tak ada hal baru dalam Peringatan ke 60 tahun Konferensi Asia Afrika, baru-baru ini. Pasalnya, penyelenggaraan KAA terkesan jelas sarat seremonial dan normatif. Sehingga wajar kurang mendapat sorotan media internasional.
"Memang peliputan media internasional persentasenya hanya sedikit. Jika dilihat dari perspektif media, KAA ini sifatnya hanya peringatan, meski penting, tetap kurang seksi di mata media," ujar jurnalis senior, Budiarto Shambazy dalam diskusi mingguan di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (25/4).
Ia menilai, tiga dokumen hasil pertemuan KAA, termasuk di dalamnya Bandung Message, yang dibeberkan cenderung bersifat normatif. Yang pasti, kata dia, KAA kalah menarik jika dibandingkan dengan konferensi tingkat tinggi internasional lainnya. Apalagi media cenderung lebih tertarik meliput konferensi yang menghadirkan perjanjian kerja sama atau kesepakatan, serta pembahasan kebijakan antarnegara.
"Peringatan KAA kali ini tidak berbeda dengan peringatan ke-50. Bahkan, agenda KAA hanya program daur ulang yang tidak menonjolkan hal-hal berbeda. Isu-isu yang disampaikan sudah sering dikumandangkan Bung Karno, dan Pak Harto waktu menjalankan kehumasan Asia-Afrika," kata Budiarto.
Dengan kata lain, peringatan kali ini hanya mengingatkan mengenai posisi negara-negara Asia-Afrika sebagai negara nonblok dan mengedepankan isu reformasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) serta mendukung kemerdekaan Palestina. Ke depan, ia berharap Indonesia dan negara Asia Afrika bisa menunjukkan taringnya di peringatan negara-negara nonblok yang akan digelar di Caracas, Venezuela.
"Kalau di Caracas nanti bukan hanya peringatan, Indonesia harus bisa membawa hasil KAA Bandung ke Caracas biar lebih mengikat," demikian budi.[wid/RMOL]