Oleh Aang Kunaifi*
(twitter @Aangku)
Jagad social media sempat mengalami kehebohan beberapa waktu terakhir, bermula dari pernyataan seorang turis jerman yang menyangka bahwa Ridwan Kamil adalah Presiden Indonesia. Padahal Walikota Bandung tersebut sedang berdiri berdampingan dengan Presiden Jokowi saat meninjau persiapan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Kota Bandung. Dari pernyataan turis jerman tersebut terbaca bahwa sangkaan tersebut lebih dikarenakan penampilan Ridwan Kamil yang terlihat cool, young and clever.
Pernyataan turis jerman yang kemudian ditulis oleh salah seorang netizen dalam akun media sosial miliknya tersebut langsung menuai banyak reaksi dari para netizen lainnya, tidak sedikit yang kemudian kontra dengan pernyataan tersebut walaupun kemudian banyak pula yang mendukung.
Saya sendiri sempat berkomentar pada akun twitter @Aangku tentang kehebohan tersebut, saya beranggapan bahwa bukan sebuah sikap yang bijaksana jika menilai pantas atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin, apalagi pemimpin nasional, hanya dilihat dari penampilan saja. Pantas atau tidak seseorang menjadi pemimpin harus dilihat dari karakter dan kapasitasnya yang dibuktikan melalui sebuah rekam jejak yang nyata.
Mendiskusikan Kapasitas Kepemimpinan
Salah satu fungsi seorang pemimpin adalah mempengaruhi para pengikutnya, hal tersebut berangkat dari pemahaman bahwa kepemimpinan dimaknai sebagai sebuah proses untuk mempengaruhi para pengikut. Pendapat tersebut diungkapkan oleh banyak pakar kepemimpinan, seperti Yukl, Burns, Boles, Gardner, Hersey, Blanchard, dan Johnson (Wirawan, 2003).
Dalam dunia kepemimpinan, kapasitas yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, disarikan dari penjelasan Yukl tentang kepemimpinan (Wirawan, 2o03) antara lain adalah kapasitas dalam menetapkan tujuan, mengorganisasikan kerja, serta memotivasi pengikut untuk melaksanakan program kerja tersebut. Tidak hanya sampai di sana, seorang pemimpin juga harus mampu membentuk, meningkatkan serta mempertahankan kesolidan dan kerja sama antar pengikutnya, serta mengkonsolidasikan dukungan dan kerja sama dari masyarakat luas.
Pada awalnya kapasitas kepemimpinan yang dimiliki oleh seseorang dianggap sebagai kemampuan yang telah diterima sejak ia dilahirkan, teori tersebut membuat muncul kaidah bahwa seorang pemimpin itu tidak diciptakan, tetapi dilahirkan. Kapasitas yang ia miliki dianggap sebagai sesuatu yang sifatnya terwariskan. Itulah mengapa di era lama, di berbagai belahan dunia, berkembang sistem politik dinasti.
Sedikit berbeda dengan anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa seseorang menjadi pemimpin karena memang ia dilahirkan untuk menjadi orang besar (greatman), kaidah selanjutnya dalam dunia kepemimpinan menjelaskan bahwa sifat seseorang menjadi faktor yang sangat menetukan apakah ia laik atau tidak untuk menjadi seorang pemimpin.
Sifat seseorang, baik fisik atau jiwa, merupakan sesuatu yang dibawa sejak ia dilahirkan untuk kemudian dibentuk oleh lingkungannya. Anggapan yang kedua tentang kepemimpinan tersebut mulai mengalami pergeseran, ia tidak lagi menganggap bahwa pemimpin itu dilahirkan, tetapi dapat dibentuk oleh lingkungannya.
Pembentukan sifat kepemimpinan pada diri seorang dapat terjadi secara alami, tetapi dapat juga dilakukan dengan kesengajaan. Pembentukan sifat kepemimpinan yang dilakukan dengan kesengajaan harus dilakukan dengan terstruktur, sistematis, terencana, bertahap, dan berkelanjutan.
Akan tetapi, seseorang yang mempunyai sifat yang sama, baik fisik dan jiwa, belum tentu mempunyai keberhasilan yang sama dalam sejarah kepemimpinannya. Hal tersebut dikarenakan karena tidak pernah ada situasi kepemimpinan yang persis sama. Hal tersebut yang kemudian disimpulkan oleh berbagai pihak, bahwa sifat seorang pemimpin bukan merupakan faktor satu-satunya dalam menentukan sukses atau tidaknya kepemimpinan seseorang, situasi menjadi variabel baru yang menentukan apakah seseorang akan berhasil atau tidak dalam menjalankan kepemimpinannya.
Mendiskusikan Presiden Joko Widodo
Banyaknya netizen yang kemudian serantak meng-amini apa yang disampaikan oleh turis jerman tersebut, menurut saya tidak semuanya berangkat dari penilaian akan penampilan fisik Jokowi dan Ridwan Kamil, tetapi lebih dikarenakan penilaian terhadap kinerja Presiden RI ke tujuh tersebut dalam menjalankan kepemimpinannya berbanding dengan kemilaunya kinerja Ridwan Kamil sebagai Walikota Bandung.
Oleh karena itu, para pendukung setia Presiden Jokowi seharusnya tidak reaktif menyikapi pendapat para netizen yang mengatakan bahwa Ridwan Kamil lebih pantas untuk menjadi presiden dibanding Jokowi, misalnya dengan mengeluarkan penyataan balik bahwa Ridwan Kamil tidak boleh GR hanya karena secara penampilan dianggap mirip Presiden Soekarno. Karena dalam kehebohan ini, Ridwan Kamil dapat dikatakan tidak tahu apa-apa.
Para pendukung setia seharusnya menjadikan pernyataan para netizen sebagai otokritik bagi perbaikan dan peningkatan kinerja Presiden Jokowi di masa yang datang, karena sudah menjadi rahasia umum bahwa kinerja Presiden Jokowi dianggap diluar ekspektasi publik. Hal tersebut terungkap dalam sebuah survey terakhir yang dilakukan oleh Poltracking Institute, lembaga yang dipimpin oleh seorang pengamat politik nasional, Hanta Yudha.
Survey Poltracking Institute tersebut mengungkapkan bahwa kepuasaan publik terhadap kinerja Pemerintahan Kabinet Jokowi-JK sangat rendah, hanya berkisar pada angka 44% saja, angka kepuasaan publik terhadap Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri, berturut-turut adalah 47 % dan 44,8 %.
Rendahnya kepuasaan publik terhadap kinerja Pemerintahan Jokowi-JK, salah satunya disebabkan oleh kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi yang berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok, gas, listrik, ongkos transportasi, dsb. Kebijakan politik-hukum pemerintah dalam menyelesaikan kasus KPK vs POLRI juga menambah kekecewaan publik.
Sebagian pengamat mengatakan bahwa turunnya angka kepuasaan publik terhadap kinerja Jokowi-JK lebih disebabkan kerena buruknya kinerja kabinet dan lemahnya komunikasi politik pemerintah, karenanya solusi yang dapat diambil pemerintah adalah melakukan reshuffle kabinet serta memperbaiki komunikasi politik pemerintah. Menurut saya, langkah paling strategis yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah dengan meningkatkan kinerja yang sesuai dengan janji kampanye, yaitu program kerja yang sesuai dengan nawacita dan revolusi mental.
Mendiskusikan Ridwan Kamil
Ridwan Kamil adalah salah satu pemimpin muda di Indonesia yang dianggap potensial sebagai calon pemimpin nasional di masa yang akan datang, beliau menjabat Wali Kota Bandung sejak 16 september 2013. Sarjana Teknik Arsitektur ITB dan Master of Urban Design University of California Berkeley tersebut dahulunya merupakan seorang arsitek dan akademisi yang mempunyai kiprah dan prestasi bertaraf internasional.
Beliau merupakan salah satu pendiri URBANE, yaitu perusahan yang bergerak dalam bidang jasa konsultan perencanaan, arsitektur dan desain. URBANE dikenal sebagai tempat berkumpul anak-anak muda yang cerdas, kreatif dan idealis, prestasi mereka dapat dikatakan mendunia. Dalam dunia internasional, sosok Ridwan Kamil dapat dikatakan sebagai sosok yang sudah teruji dalam menjalankan profesinya, hal tersebut terlihat dari banyaknya penghargaan yang beliau raih, sebut saja misalnya Urban Leadership Award dari University of Pensylvania, BCI Asia Top Ten Architecture Business Award, dan Architect of the Year from Elle Décor Magazine, serta masih banyak penghargaan lainnya.
Walaupun mempunyai prestasi dan pengalaman yang panjang, sosok Ridwan Kamil tetap saja merupakan anak baru dalam dunia politik dan kepemimpinan publik, prestasi yang sudah ia torehkan sebelumnya tidak dapat dijadikan jaminan bahwa ia akan sukses sebagai pejabat publik. Ridwan Kamil masih harus membuktikan diri kalau ia dapat mengukir prestasi sebagaimana yang ia lakukan saat menjalankan profesinya sebagai seorang arsitek.
Mengacu kepada teori sifat pemimpin, sosok Ridwan Kamil dapat dikatakan mempunyai sifat sebagai seorang pemimpin, baik jiwa maupun fisik. Akan tetapi, jangan dilupakan bahwa situasi yang dihadapinya sekarang sangat berbeda dengan situasi yang ia hadapi dulu, situasi sendiri merupakan salah variabel yang sangat menentukan keberhasilan kepemimpinan seseorang.
Epilog
Saat menjabat Wali Kota Solo, Jokowi dianggap publik sebagai pemimpin yang berprestasi. Didukung dengan sosoknya yang “media darling”, karier politik Jokowi melesat dengan cepat. Tidak terasa beliau sudah enam bulan memimpin Indonesia sebagai presiden, setelah sebelumnya sempat merasakan bagaimana menjadi Gubernur DKI.
Karier Jokowi memang sangat cepat, padahal seharusnya beliau saat ini masih harus menyelesaikan amanahnya sebagai Wali Kota Solo. Karier Jokowi yang sangat cepat sebagai pejabat publik, dari Wali Kota menuju Presiden, saya kira sedikit banyak berpengaruh terhadap kinerja beliau sebagai presiden sekarang.
Situasi yang beliau hadapi saat menjadi walikota dan gubernur tentu sangat berbeda dengan situasi yang dihadapi sekarang. Sebagai seorang Warga Negara, saya berharap bahwa kinerja pemerintahan sekarang akan mengalami perbaikan, pun jika harus melalui sebuah peristiwa politik yang bernama reshuffle kabinet.
Apa yang dialami oleh Presiden Jokowi hari ini, saya kira dapat dijadikan sebagai pelajaran yang sangat berharga bagi calon pemimpin nasional di masa yang akan datang, termasuk Ridwan Kamil. Cepatnya karier politik Jokowi harus disikapi dan dimaknai dengan bijaksana, saya sendiri berharap para tokoh yang potensial menjadi calon pemimpin bangsa masa depan jangan tergoda untuk mengikuti jejak Jokowi.
Keberhasilan sebuah kepemimpinan setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu kapasitas kepemimpinan serta persepsi publik terhadap proses kepemimpinannya. Di era telepolitic seperti sekarang, tidak selalu keberhasilan kepemimpinan seseorang di mata publik berangkat dari kapasitas kepemimpinan, boleh jadi yang terjadi adalah hanya sebatas persepsi yang dibangun oleh politik citra.
Sumber: http://politik.kompasiana.com/2015/04/21/antara-jokowi-dan-ridwan-kamil-mendiskusikan-kepemimpinan-nasional-713566.html