Ada Apa dengan Situs Islam?
Oleh Suhardi*
Alumnus Pascasarjana UKM Malaysia
KEPUTUSAN Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir 22 situs Islam "radikal" atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengundang reaksi publik. Tidak terkecuali di dunia maya. Protes perlawanan digaungkan para netizen. Terbukti, tanda pagar (tagar) #KembalikanMediaIslam menjadi trending topic beberapa hari terakhir.
Kebijakan pemerintah memblokir situs Islam kembali mengingatkan kita pada zaman otoriter. Yakni, ketika pers berbeda pandangan dengan pemerintah, izin pers dicabut atau lebih dikenal dengan istilah pemberedelan. Menilai sebuah pemberitaan yang dimuat di media cetak atau online bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi, pasal 4 ayat 2 UU No 40/1999 menjelaskan, "Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pemberedelan, atau pelarangan penyiaran."
Publik patut mencurigai dan menanyakan kepada pemerintah apa urgensi ke-22 situs Islam tersebut diblokir. Setidaknya ada beberapa hal yang perlu dijelaskan oleh pemerintah. Pertama, apa yang dimaksud dengan situs radikal. Apakah ketika situs Islam memberitakan tentang penzaliman dan penindasan terhadap umat Islam bisa disebut radikal? Misalnya memberitakan pembantaian umat Islam Rohingya di Myanmar, perlakuan tidak adil terhadap muslim Uighur di Tiongkok, atau penindasan bangsa Israel terhadap Palestina, apakah termasuk kategori radikal? Penjelasan itu harus jelas dan tuntas agar tidak menimbulkan prejudice publik.
Kedua, politik global. Publik curiga dan khawatir bahwa Indonesia masuk agenda percaturan politik global dan masuk perangkap kekuatan-kekuatan asing dalam memerangi kekuatan Islam. Dalam transpolitik, menggunakan kekuatan lawan lebih ampuh untuk memerangi dan menghancurkan kekuatan musuh itu sendiri. Isu Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) telah menjadi agenda politik internasional untuk memuluskan misi politik mereka. Dulu, negara-negara Timur Tengah diisukan memiliki nuklir serta menjadikannya sebagai argumentasi untuk melakukan ekspansi dan agresi. Kini, setelah Iraq dan Saddam Husein tumbang, kepemilikan nuklir tidak terbukti dan kekuatan politik transnasional mencari haluan baru, yakni ISIS. Konon, keberadaan ISIS seperti yang diungkapkan mantan Menlu Amerika Serikat (AS) Hillary Clinton. Yakni, ISIS merupakan organisasi buatan AS untuk memecah belah dan membuat Timur Tengah senantiasa bergolak. Hal itu diperjelas oleh Edward Snowden, pembocor rahasia intelijen AS yang kini bermukim di Rusia. Dia mengungkapkan, ISIS bukan murni organisasi militan Islam.
Ketiga, mencederai demokrasi dan kebebasan pers. Padahal, salah satu penyebab lahirnya era reformasi adalah semangat melawan kungkungan terhadap kebebasan pers. Dalam pasal 4 ayat 3 Undang-Undang Pers dijelaskan, untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi. Karena itu, menilai pers bersalah atau tidak bukanlah pekerjaan mudah. Apalagi, sebagian publik menilai dan menjadikan UU Pers sebagai lex specialis. Artinya, kasus yang menyangkut pelanggaran pers tidak boleh menggunakan undang-undang selain UU Pers, apalagi memakai alasan subjektif pemerintah. Sebab, kalau alasan untuk memblokir atau memberedel pers hanyalah alasan subjektif tanpa menggunakan UU, kita khawatir akan kembali ke zaman otoriter. Dan akan berdampak terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia.
Keempat, melukai hati umat Islam. Pemblokiran situs Islam tanpa alasan yang jelas hanya akan membangun persepsi bahwa pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) adalah pemerintah yang anti-Islam. Sebab, beberapa agenda pemerintah sebelum ini sarat wacana kebijakan yang melukai hati umat Islam. Misalnya wacana penghapusan kolom agama dan legalisasi nikah beda agama. Apalagi, telah muncul di media sosial yang membandingkan kebijakan mantan Menkominfo Tifatul Sembiring dan Menkominfo sekarang. Dulu Tifatul memblokir situs porno, sekarang Rudiantara memblokir situs Islam.
Merujuk beberapa pertanyaan publik yang berkaitan dengan pemblokiran situs Islam, pemerintah harus menjelaskan dengan adil dan transparan alasannya. Sebab, niat untuk menghambat bibit-bibit radikalisme bila dilakukan dengan cara-cara "radikal" dikhawatirkan menumbuhsuburkan radikalisme itu sendiri. Apalagi di tengah mulai rendahnya kepercayaan publik terhadap pemerintahan Jokowi-JK.
Publik sepakat bahwa radikalisme menjadi musuh bersama bangsa dan tidak terkait dengan agama mana pun di dunia. Menjadikan agama tertentu sebagai akar radikalisme adalah keputusan yang prematur, subjektif, dan tidak adil. Menghambat radikalisme haruslah dengan cara-cara elegan dan produktif, bukan cara-cara kontraproduktif. Dan satu lagi yang terpenting, jangan karena memerangi radikalisme, orang akan punya penilaian baru tentang keberagamaan seseorang. Besok-besok orang yang rajin beribadah dan menampilkan simbol-simbol Islam malah dicap "radikal". Alhasil, agenda politik eksternal agar Islam dan negara ini mundur menjadi kenyataan. Juga, akhirnya umat Islam menjadi umat yang fobia dengan ajarannya serta takut untuk menyatakan dan menunjukkan keislamannya.
Karena itu, rakyat kini menuntut pemerintah untuk menjelaskan alasan pemblokiran 22 situs Islam. Apalagi di tengah banyaknya persoalan bangsa yang kian hari kian menghiasi kehidupan masyarakat. Mulai kisruh politik, merosotnya nilai rupiah, naiknya harga BBM, hingga melambungnya harga barang. Artinya, rakyat ingin pemerintah tidak menjadikan isu-isu tertentu sebagai politisasi pengalihan isu sentral. Bila tidak, publik akan selalu bertanya dan bertanya, ada apa dengan penutupan situs Islam? Wallahualam. (*)
Sumber: Kolom Opini JAWA POS (1/4/2015)