Membuka pintu rumah. Langit masih sendu dan kelabu. Rinai
masih mengintai. Hujan rupanya tak menyentuh kata henti. Saya harus berlari
dengan jaket berkupluk untuk mengejar angkot 01 menuju TMII. Di bawah pohon,
tak jauh dari toko tanaman, angkot merah menyala itu menyapa dengan penumpang
yang mendekap dingin. Mungkin mereka kedinginan.
Setelah melewati Tamini Square, saya turun untuk mencegat
angkot S15A jurusan Ragunan. Hujan makin lebat, kaca angkot begitu buram
berembun. Penghuni angkot mendekap tas kerja mereka. Musim penghujan ini banyak
yang kedinginan. Banyak yang jatuh sakit. Ibu saya sakit, adik berbarengan,
kemudian beberapa hari lalu istri juga sakit. Lalu kemarin seorang sahabat juga merasakan
yang sama. Badannya sangat panas. Kepalanya masih tertempel handuk basah,
ternyata dadanya juga. Demam tinggi. Semua makanan yang dimakannya terasa pahit
di lidah. Terkulai lemah di tempat tidur.
“Makanya, jaga kesehatan. Jangan lupa olahraga.” Kata saya
menasihati seorang kawan yang susah bicara itu.
Tak lama, sepulang dari menengoknya saya seperti merasakan
sinyal yang aneh di tubuh. Badan mendadak dingin, kepala pusing luar biasa.
Lama-lama seusai sholat Isya, hanya mampu mencari tempat tidur. Tepar. Entah
apa penyebabnya.
“Mungkin ketularan teman kamu, Mas.” Kata istri. Saya hanya
memungkinkan.
Tentang sakit, saya jadi ingat sesuatu. Tentang seorang ustadz yang mengajar di mahad tempat saya belajar.
“Ustadz, kenapa WA antum tidak aktif dan telepon juga tidak
bisa?” Tanya Ustadz Amir, kepada ustadz Ahmad, sebut saja demikian.
“Afwan, anak ana sedang sakit, Ustadz.”
“Lalu, apa hubungannya, Ustadz?”
Ustadz Ahmad terdiam sejenak. Merunduk.
“Ana harus menjual hape ana buat berobat anak ana.” Ucapnya lirih.
Ya Allah....Ya Rabb...Ada
sesuatu yang berdentum di hati Ustadz Amir. Menyayat hati mendengarnya: menjual
hape demi berobat anaknya? Ini ada yang salah, tidak bisa dibiarkan. Ustadz
Amir dalam kuliah pun menyentil para mahasiswanya yang belum melunasi administrasi.
“Ustadz di sini menginfakkan diri mereka untuk antum semua.
Tolong untuk sadari diri bahwa antum harus mengelola bagaimana ilmu itu biar
berkah. Penuhi kewajiban antum semua. Di
sini, di ma’had ini biayanya adalah biaya mandiri, tidak berasal dari institusi
manapun. Ana pribadi pun tidak menerima dan meminta bayaran ngajar di sini.
Bahkan ada ustadz yang akhir pekan menginfakkan dirinya untuk ngajar di
sini. Beliau harus datang dari Kuningan
dan harus balik lagi ke sana karena harus ngajar di pesantren. Bayangkan,
beliau mau bolak-balik dari Kuningan ke Jakarta tiap akhir pekan padahal beliau
sudah punya pesantren sendiri. Ana harap antum semua tahu!” taujihnya.
Hujan masih dengan tetesan jama’ahnya. Betah mendingin. Banyak yang sakit, dan saya harus bertahan dengan kondisi yang sama. Namun mengingat ustadz Ahmad, menyadarkan tentang sakit yang lain. Hati yang curai dari cahaya.
Wallahua’lam.