Oleh Hasmi Bakhtiar
Rezim yang berkuasa bermodalkan konflik mustahil akan menyelasaikan konflik tersebut. Karena berakhirnya konflik sama dengan berakhirnya kekuasaan.
Begitulah kira-kira jawaban atas seruan dunia internasional di forum-forum resmi, seperti Uni Eropa, PBB dan forum lainnya. Presiden Mesir saat ini, Abdel Fattah As-Sisi menduduki kursi kepresidenan bermodalkan konflik yang sengaja diciptakan.
Mungkin kita masih ingat, beberapa bulan sebelum kudeta 3 Juli 2013 berlangsung, banyak permasalahan yang sengaja diciptakan oleh musuh negara, baik permasalahan di internal maupun eksternal Mesir. Di internal Mesir, sebelum kudeta militer mungkin kita masih ingat permasalahan langkanya Bahan Bakar Minyak. Saya yang ketika itu masih di sana demi mendapatkan premium, rela antri sampai subuh. Masalah lainnya kelangkaan gas, kelangkaan energi dan lain-lain.
Untuk permasalahan eksternal waktu itu sedang panas-panasnya issue pembangunan bendungan Nahdah oleh Ethiopia, yang diberitakan oleh media-media di Mesir bahwa sebentar lagi Mesir akan kekurangan pasokan air, dan opini publik digiring bahwa pemerintahan Muhammad Mursi harus diakhiri.
Militer dibantu media dan pengusaha antek Mubarak melemparkan semua permasalahan yang sengaja diciptakan kepada Mursi. Begitu juga konflik di semenanjung Sinai. Ketika itu tujuh tentara Mesir diculik kelompok militan. Walaupun Mursi berhasil membebaskan tawanan tersebut namun media tetap membangun opini Mursi telah gagal memenuhi tuntutan revolusi 25 Januari.
Pada era As-Sisi Mesir bukannya bertambah stabil, bahkan permasalahan yang terjadi akibat kegagalan rezim kudeta empat kali lebih besar dari era Mursi. Kasus terbaru adalah tewasnya 44 pasukan Mesir di Sinai dan 70 lainnya luka-luka.
Dunia merespon tragedi tersebut dengan meminta As-Sisi segera menyelesaikan permasalahan tersebut dengan memerangi kelompok yang mereka sebut 'islam radikal', walaupun dunia tahu As-Sisi mendapatkan kekuasaan dengan cara merampok demokrasi, namun dunia menutup mata rapat-rapat dan masa bodo dengan itu semua, demokrasi yang diagungkan dibuang jauh-jauh tanpa rasa malu.
Jadi mengharapkan permasalahan Sinai selesai ditangan rezim As-Sisi menurut saya merupakan hal yang mustahil. Hari ini As-Sisi mengumumkan akan mengalokasikan dana sebesar EGP 10 Milyar untuk pembangunan Sinai. Saya berkeyakinan semua itu sia sia, dengan beberapa alasan:
1. Ditengah macetnya bantuan negara donatur kudeta, mustahil As-Sisi bisa merealisasikan rencananya tersebut. As-Sisi mendapatkan dana tersebut dari mana? Ditengah krisis ekonomi dalam negeri yang semakin menggila. Apalagi Kuwait malam ini resmi mengumumkan tidak lagi memberikan bantuan kepada Mesir. Saudi Arabia yang dikenal royal menggelontorkan uang untuk Mesir juga tidak bisa diharapkan, mengingat perubahan politik di kerajaan tersebut pasca wafatnya raja Abdullah.
2. Janji As-Sisi untuk membangun Sinai hanyalah retorika lama. Sejak sukses memimpin kudeta, kondisi Sinai malah semakin parah. Bukan pembangunan yang dirasakan masyarakat Sinai, malah mereka disuruh pindah demi mengikuti kemauan Israel. Dan juga konflik di Sinai merupakan amunisi rezim kudeta untuk terus berkuasa. Adanya kelompok militan disana dijadikan alat untuk menakut-nakuti rakyat Mesir kalau mereka dibawah ancaman teroris, jadi militer harus terus berkuasa jika ingin Mesir aman.
3. Ini yang paling penting, konflik Sinai hanya satu dari sekian banyak kegagalan rezim kudeta. Krisis ekonomi, pangan, energi dan krisis lainnya bermuara kepada satu hal, yaitu rezim militer itu sendiri. Ketidak stabilan dalam negeri adalah akibat nafsu politik militer dan keengganannya kembali ke fungsi asli militer, yaitu menjaga keamanan negara. Ketika Mursi ingin militer kembali ke barak, mereka menolak. Militer terbiasa hidup mewah dengan menguasai kekayaan negara, bahkan sebelum revolusi 25 Januari militer Mesir menguasai ekonomi negara sampai 40%.
Jika benar dunia menginginkan perbaikan di Mesir, satu-satunya solusi adalah kembalikan kekuasaan kepada yang berhak, yaitu pemimpin pilihan rakyat Muhammad Mursi. Kembali kepada konstitusi produk rakyat, dan yang paling penting, militer harus kembali ke barak.
Sehabat apapun negarawan, sebanyak apapun para ahli, selama militer masih berpolitik semuanya akan percuma. Hari ini Mesir mungkin masih disebut negara demokrasi, tetapi sebenarnya adalah demokrasi dibawah sepatu militer.[]
*Hasmi Bakhtiar, Alumni Al-Azhar Mesir, Saat ini menempuh S2 di Lille Perancis Jurusan Hubungan Internasional. Kontributor Piyungan Online. (Twitter: @hasmi_bakhtiar)