Jokowi didesak publik untuk menyelamatkan KPK. Hanya mereka yang pander yang bilang tidak ada kriminalisasi KPK. Masyarakat melihat KPK bakal hancur atau lumpuh layu kalau tidak diselamatkan oleh Jokowi.
Bagaimanapun, kehadiran Jokowi merupakan fenomena langka, dan dia dianggap sebagai ''black swan'' (angsa hitam) dalam blantika politik Indonesia yang kelam. Sehingga peran Jokowi untuk menyelamatkan KPK sangat diharapkan publik. Maukah?
Jokowi harus sadar bahwa fenomena dirinya dalam perspektif politik elektoral bisa dikategorikan sebagai ''black swan''. Dan fenomena black swan (angsa hitam) dalam perspektif ilmu sosial adalah fenomena kelangkaan atau mendekati kemustahilan untuk hadir.
Angsa hitam adalah fenomena yang sangat langka, dimana dengan probabilitas yang kecil, tapi ketika muncul berdampak spektakuler, seraya mendorong semua pihak memberi tafsiran baru bagi fenomena tersebut.
Kini tafsiran itu beragam, dalam arti interpretasi publik atas peran dan langkah Jokowi dalam konteks penyelamatan KPK menimbulkan multi interpretasi dan tanda tanya.
Dalam kaitan ini, Istana Jokowi tentu tahu bahwa KPK sudah berada dalam sasaran tembak. Sebab, KPK telah begitu banyak menjerat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk penegak hukum) yang korup.
Jokowi juga tahu negeri ini seperti mengalami pembusukan akut. Aparat kotor seringkali tak ditangkap, bahkan mampu membangun jejaring rekan sejenis.
Jokowi juga tahu bahwa KPK dibentuk karena Polri dan Kejagung tidak mampu menuntaskan korupsi. Seharusnya mereka berterima kasih kepada KPK karena KPK-lah yang mengerjakan tugas-tugas yang gagal diemban Polri dan Kejagung.
Dalam hal ini, fenomena black swan (angsa hitam) Jokowi itu, ungkap peneliti ekonomi-politik Andi Irawan, menjadi kehilangan relevansinya kalau ternyata kehadirannya sebagai RI-1 tidak bisa berkontribusi besar menghadirkan black swan (kemustahilan) yang sangat dibutuhkan negara bangsa kita dewasa ini, yakni negara yang bersih dari korupsi. Jokowi tengah diuji, imbuh Ray Rangkuti, aktivis antikorupsi.
Dalam upaya membasmi korupsi itu, Jokowi tidak sendirian dan pertemuannya dengan Prabowo Subianto dan BJ Habibie, tim independen, dan tentunya arus besar rakyat kita, menunjukkan Presiden tidaklah sendirian.
Kini, KPK di ujung tanduk. Serangan balik pada KPK pun sangat kuat, dan nyaris tak terbantahkan. Dalam politik, seperti halnya dalam laga bola, serangan balik bisa sangat mematikan. Sebab, kekuatan total dikonsentrasikan dalam serangan balik itu. Rezim Jokowi musti menyadari hal ini.
Rakyat mendesak ada tindakan cepat dan tegas dari Joko Widodo dan itu sangat dinanti. Di antara konflik dan serangan balik ini, Jokowi tak boleh lengah dan mengalah. Presiden harus hadir dan kuat serta menunjukkan kedigdayaannya.
Nah, sejarah akan mencatat apakah Jokowi itu digdaya, menjadi penyelamat KPK ataukah malah jadi pecundang dan penghancur KPK? [berbagai sumber/inilah]
Bagaimanapun, kehadiran Jokowi merupakan fenomena langka, dan dia dianggap sebagai ''black swan'' (angsa hitam) dalam blantika politik Indonesia yang kelam. Sehingga peran Jokowi untuk menyelamatkan KPK sangat diharapkan publik. Maukah?
Jokowi harus sadar bahwa fenomena dirinya dalam perspektif politik elektoral bisa dikategorikan sebagai ''black swan''. Dan fenomena black swan (angsa hitam) dalam perspektif ilmu sosial adalah fenomena kelangkaan atau mendekati kemustahilan untuk hadir.
Angsa hitam adalah fenomena yang sangat langka, dimana dengan probabilitas yang kecil, tapi ketika muncul berdampak spektakuler, seraya mendorong semua pihak memberi tafsiran baru bagi fenomena tersebut.
Kini tafsiran itu beragam, dalam arti interpretasi publik atas peran dan langkah Jokowi dalam konteks penyelamatan KPK menimbulkan multi interpretasi dan tanda tanya.
Dalam kaitan ini, Istana Jokowi tentu tahu bahwa KPK sudah berada dalam sasaran tembak. Sebab, KPK telah begitu banyak menjerat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif, termasuk penegak hukum) yang korup.
Jokowi juga tahu negeri ini seperti mengalami pembusukan akut. Aparat kotor seringkali tak ditangkap, bahkan mampu membangun jejaring rekan sejenis.
Jokowi juga tahu bahwa KPK dibentuk karena Polri dan Kejagung tidak mampu menuntaskan korupsi. Seharusnya mereka berterima kasih kepada KPK karena KPK-lah yang mengerjakan tugas-tugas yang gagal diemban Polri dan Kejagung.
Dalam hal ini, fenomena black swan (angsa hitam) Jokowi itu, ungkap peneliti ekonomi-politik Andi Irawan, menjadi kehilangan relevansinya kalau ternyata kehadirannya sebagai RI-1 tidak bisa berkontribusi besar menghadirkan black swan (kemustahilan) yang sangat dibutuhkan negara bangsa kita dewasa ini, yakni negara yang bersih dari korupsi. Jokowi tengah diuji, imbuh Ray Rangkuti, aktivis antikorupsi.
Dalam upaya membasmi korupsi itu, Jokowi tidak sendirian dan pertemuannya dengan Prabowo Subianto dan BJ Habibie, tim independen, dan tentunya arus besar rakyat kita, menunjukkan Presiden tidaklah sendirian.
Kini, KPK di ujung tanduk. Serangan balik pada KPK pun sangat kuat, dan nyaris tak terbantahkan. Dalam politik, seperti halnya dalam laga bola, serangan balik bisa sangat mematikan. Sebab, kekuatan total dikonsentrasikan dalam serangan balik itu. Rezim Jokowi musti menyadari hal ini.
Rakyat mendesak ada tindakan cepat dan tegas dari Joko Widodo dan itu sangat dinanti. Di antara konflik dan serangan balik ini, Jokowi tak boleh lengah dan mengalah. Presiden harus hadir dan kuat serta menunjukkan kedigdayaannya.
Nah, sejarah akan mencatat apakah Jokowi itu digdaya, menjadi penyelamat KPK ataukah malah jadi pecundang dan penghancur KPK? [berbagai sumber/inilah]