Harus disadari oleh seluruh komponen bangsa bahwa masa depan dan keselamatan pemerintah Republik Indonesia tidak hanya berada di tangan Joko Widodo. Jokowi adalah penerima mandat dari rakyat sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan karena memang konstitusi mengaturnya demikian.
Rakyat memberi mandat agar presiden dengan segala kewenangannya menjalankan pemerintahan dengan baik. Dan untuk hal itu, presiden dibantu wakil presiden, kabinet dan unsur pemerintahan lainnya. Artinya, dia tidak bekerja sendiri dalam menghadapi masalah bangsa.
Dalam kasus tertentu, tidak ada salahnya Jokowi memberikan peran kepada Wapres untuk menyelesaikan masalah. Termasuk dalam kasus calon Kapolri Komjen Budi Gunawan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Jusuf Kalla punya pengalaman lengkap di pemerintahan dan dua kali menjabat posisi wakil presiden. Dia politisi senior yang cukup mumpuni untuk berinteraksi dengan kalangan politisi lintas partai. Apalagi terkait isu memburuknya komunikasi antara Jokowi dengan partai pengusungnya.
JK sangat memahami fatsoen politik, dia tidak akan berkhianat kepada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputeri. Tanpa Mega, JK tidak akan memperoleh kursi Wapres untuk kedua kalinya. Dengan ketua umum parpol pengusung Jokowi-JK pun beliau punya historis dan komunikasi yang bagus.
Sebut saja Surya Paloh, Ketum Partai Nasdem, adalah koleganya saat sama-sama memimpin Partai Golkar. Ketum Hanura, Wiranto, punya kedekatan emosional dengan JK saat keduanya sama-sama maju sebagai Capres-Cawapres 2009. Pendeknya, hubungan JK dengan elite parpol baik di Koalisi Indonesia Hebat/KIH maupun Koalisi Merah Putih/KMP, sangat cair.
Saat mendampingi SBY sebagai Wapres, JK memiliki komitmen tertulis terkait hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan dan masalah ekonomi. Katakanlah hal itu tidak berlaku untuk Presiden Jokowi, setidaknya kondisi hiruk pikuk politik dan terus melemahnya kondisi perekonomian saat ini tidak harus dihadapi Jokowi sendirian.
Rakyat terus diombang-ambing isu politik dan hukum ditambah merosotnya keadaan ekonomi makro dengan kenyataan nilai rupiah yang terus terpuruk. Negara seolah-olah tidak hadir dan rakyat pun kian skeptis dalam menilai kondisi pemerintahan. Apa yang terjadi di era periode kedua Presiden SBY, dengan tudingan autopilot, sepertinya terulang menjadi autopilot jilid 2.
Hampir tidak ada tampilan opini yang sejuk setiap hari yang disuguhkan pemerintahan yang baru lahir ini. Dan semuanya bermuara pada Jokowi. Antara harapan dan aksi nyata tidak ketemu. Seolah-olah cuma Jokowi yang mampu selesaikan masalah bangsa ini. Dan itu tidak fair, karena tumpahan kekecewaan dan amarah juga seolah-olah hanya ditanggung Jokowi.
Belum lagi, buruknya cara berkomunikasi antara para pembantu presiden, khususnya menteri yang berasal dari unsur parpol dan non parpol. Semuanya tidak mampu memberikan pencerahan, sebaliknya membuat kebingungan. Contohnya, beberapa statemen dari Sekretaris Kabinet, Menko Polhukam, Menteri Sekretaris Negara, Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM serta parpol pendukung pemerintah saling menegasikan satu dengan lainnya.
Presiden Jokowi asik sendiri dengan langkah-langkah politiknya, Wapres terlihat seperti menunggu dan menteri-menteri sibuk bersilat lidah mencari citra lewat media. Kondisi itu sangat tidak diinginkan rakyat pada saat ini.
Memberi JK peran untuk mem-back up situasi politik dan ekonomi saat ini, jauh lebih bermanfaat daripada membiarkan opini berkembang liar dan dikendalikan kelompok-kelompok tertentu. Karena, JK adalah bagian dari pemerintahan itu sendiri. Stigma autopilot jilid 2 untuk pemerintahan ini tidak boleh terjadi, karena sudah terlalu besar biaya yang ditanggung negara untuk mempersilakan negara diurus pemerintahan Jokowi-JK. ***
Oleh: Syahrial Nasution (Sekjen The Founding Fathers House (FFH), mantan Ketua Media Center SBY-JK, praktisi media)