Oleh Burhanuddin Muhtadi*
Tak bisa dimungkiri, Jokowi adalah presiden paling lemah sejak digelarnya sistem pemilihan presiden secara langsung tahun 2004 hingga sekarang. Alasannya, pertama, tak ada satu pun partai yang bisa dikendalikan atau dikontrol secara langsung oleh Jokowi. Di PDI Perjuangan (PDIP), Jokowi bukan veto player. Megawatilah pemegang remote control partai, termasuk pemegang saham terbesar pemerintahan Jokowi.
Kedua, Koalisi Indonesia Hebat (KIH), yang konon menopang proteksi politik Jokowi di parlemen, juga jauh untuk mencapai mayoritas sederhana. Koalisi yang dibangun Jokowi di parlemen terlalu kurus dan minimalis.
Pada masa Jokowi inilah kali pertama Indonesia, sejak Reformasi 1998, mengalami divided government (pemerintahan yang terbelah karena cabang kekuasaan legislatif dikuasai oposisi). Ruang manuver politik Jokowi kurang leluasa sebab oposisi secara formal menguasai komposisi kekuatan di DPR.
Ketiga, Jokowi tak memiliki darah biru politik. Ia bukan bagian dari kalangan ningrat politik yang berkoneksi dengan kaum oligarki. Ia dianggap anak kemarin sore yang ketiban pulung atau wahyu keprabon sehingga bisa melenggang ke Istana.
Satu-satunya modal politik Jokowi adalah dukungan publik. Itu pun tergerus pelan tapi pasti seiring dengan beberapa kebijakan Jokowi yang melawan ekspektasi publik. Mulai komposisi Kabinet Kerja yang sama sekali tak memunculkan wow effect, pemilihan Jaksa Agung yang kental aroma bagi-bagi kekuasaan, kenaikan BBM pada November 2014, hingga pro-kontra calon Kapolri Budi Gunawan dan drama KPK versus Polri.
Jokowi terjepit di antara pilihan either/or: Melantik Budi Gunawan untuk melayani patron politiknya, Mega dan PDIP tetapi berisiko kehilangan satu-satunya modal yang selama ini dia punya, yakni kepercayaan publik. Atau sebaliknya: menumbuhkan asa publik dengan menolak melantik Budi tetapi berisiko kehilangan dukungan politik PDIP di parlemen. Ibarat buah simalakama, tak ada pilihan mudah yang terhidang di atas meja. Tapi seorang pemimpin memang diciptakan untuk mengambil keputusan yang sulit.
Sejak awal, Jokowi kurang leluasa memainkan manuver-manuver politiknya. Benar bahwa Megawati memberikan tiket calon presiden untuk maju di pilpres lalu. Tetapi, faktanya, dia melabeli Jokowi dengan gelar "petugas partai." Di mata Mega, di mana pun Jokowi berada, ia tak lebih seorang "jongos" yang harus mengikuti apa mau sang tuannya. Inilah sebentuk kekerasan semantik yang membuat Jokowi tak akan pernah mampu memaksimalkan mandat presidensialismenya.
Jadi tekanan politik yang menghimpit Jokowi terjadi dalam sekian lapis. Lapis pertama berasal dari dalam partainya sendiri. Hubungan Jokowi dengan Mega bersifat asimetris. Utang budi karena mendapat tiket capres, gap usia, dan hubungan masa lalu seperti meniadakan kontribusi elektoral Jokowi untuk memenangkan PDIP dalam pemilu legislatif lalu.
Lapis kedua adalah tekanan dari partai koalisi pendukung Jokowi. Selama ini, KIH belum tampil sebagai mesin politik yang efektif. Rangkaian kekalahan demi kekalahan dalam voting di DPR, baik dalam isu UU MD3, pilkada tidak langsung, pemilihan pimpinan DPR dan MPR membuat keseimbangan politik pemerintah terganggu. Lapis terakhir adalah koalisi oposisional yang diwakili Koalisi Merah Putih (KMP) dan Partai Demokrat yang memosisikan diri sebagai pendulum di tengah polarisasi KIH dan KMP.
Tiga lapis tekanan politik yang menjepit Jokowi itulah yang melahirkan ironi seorang Presiden yang terbagi aura kekuasaannya. Seyogianya seorang Presiden adalah matahari tunggal yang merupakan satu-satunya referensi kuasa. Tapi di mata publik, Istana Negara bukanlah satu-satunya pusat kekuasaan itu.
Dalam gegap pembentukan kabinet Jokowi, media juga sibuk menyoroti betapa ramainya elite politik meminta restu ke kediaman Mega di Teuku Umar atau ke ketua-ketua umum partai pendukung Jokowi. Secara simbolis, hilir-mudiknya elite politik ke Mega menunjukkan demistifikasi kuasa Jokowi. Bahkan dalam menentukan skuad kabinet saja Jokowi harus menelan air ludahnya sendiri untuk bisa membentuk kabinet meritokratis yang berbasis kerja.
Ironi politik lainnya adalah komando politik KIH juga tak dipegang Jokowi secara langsung. Ia bukan panglima politik KIH. Lucunya, operator politik KIH adalah Puan Maharani yang notabene anak buah Jokowi di kabinet, tapi dalam keadaan tertentu bisa menjadi "majikan". Jokowi ditempatkan tak lebih sebagai administrator pemerintahan yang hanya mengurusi urusan teknokratis semata.
Dalam sistem presidensial yang terfragmentasi secara ekstrem, lahirnya "presiden minoritas" (minority president) atau presiden yang didukung kekuatan politik minimal di DPR menjadi suatu hal yang niscaya. Anehnya, Jokowi bukan hanya menjadi presiden minoritas di parlemen karena dikuasai oleh KMP, melainkan juga menjadi presiden minoritas di partainya sendiri.
Jadi tarik-menarik antara PDIP dan Jokowi dalam kasus Budi Gunawan sebagai Kapolri harus dibaca sebagai "akibat" bukan "sebab" dari tiga lapis tekanan politik yang menjepit Jokowi di atas. Ironisnya, tekanan politik paling kuat yang menghimpit Jokowi bukan dari partai-partai oposisi, melainkan justru datang dari halaman rumah politiknya sendiri. Bukan KMP yang membuat citra Jokowi amburadul belakangan ini, melainkan justru barisan partai pendukung yang mendorongnya ke tubir jurang. Kesan Jokowi menjadi presiden boneka makin terpatri di benak publik.
Jika jepitan politik ini dibiarkan terus terjadi, Jokowi akan selamanya tersandera, dan takkan pernah tampil sebagai presiden yang merdeka. Setidaknya, ada tiga solusi yang bisa dilakukan untuk mengurangi impitan politik tersebut. Pertama, Jokowi harus menaikkan daya tawar politik di hadapan partai-partai pendukungnya, yaitu lebih pro-aktif membangun penjajakan ke aktor-aktor politik lainnya. Dalam sistem presidensial, seorang presiden diberikan ruang manuver yang luas untuk membangun koalisi dengan siapa pun. Dia tak boleh terpaku pada satu blok politik tertentu yang justru makin menurunkan bargaining position seorang presiden.
Dalam sistem presidensial, logika pembentukan koalisi pendukung pemerintah lebih ditentukan oleh teori koalisi kemenangan-minimal (minimal winning coalition) ketimbang berbasis ideologis (ideologically connected coalition). Tak ada rambu-rambu apa pun dalam berkoalisi. Semua serba mungkin dan longgar (promiscuous). Menang atau kalah dalam pemilu bukanlah batas pemisah dalam berkoalisi. Biasanya partai pendukung direpresentasikan di dalam kabinet pemerintah (the ins), sedangkan blok oposisi berada di luar pemerintahan (the outs).
Solusi ini sepertinya sedang ditempuh Jokowi. Belakangan Jokowi sangat aktif menjalin komunikasi dengan aktor-aktor politik seperti Prabowo dan elite-elite KMP. Keakraban Jokowi dengan Prabowo memberi pesan politik kuat ke Megawati dan KIH bahwa Jokowi bisa melakukan langkah tak terduga. Bisa saja ada akomodasi politik KMP ke dalam pemerintahan, tapi tafsir politik yang paling mungkin adalah mengingatkan Megawati bahwa PDIP bukan satu-satunya referensi politik yang bisa diandalkan pemerintahan Jokowi. Jokowi bisa juga menjalin kemesraan dengan Susilo Bambang Yudhoyono dan Demokrat. Tapi efek politiknya ke internal PDIP akan lebih menghentak mengingat hubungan antagonistik SBY dengan Mega di masa lalu.
Solusi kedua adalah mempertimbangkan maju sebagai ketua umum dalam Kongres PDIP di bulan April mendatang. Terlebih lagi, secara publik beberapa survei lembaga-lembaga yang kredibel menunjukkan popularitas Jokowi di mata publik dan konstituen PDIP sendiri sebagai Ketua Umum PDIP mendatang. Lembaga Survei Indonesia, misalnya, menemukan pada 10-18 Januari 2015 bahwa PDIP adalah partai yang paling dianggap sukses melakukan kaderisasi.
Ini konsisten dengan temuan yang menunjukkan hanya Jokowi figur baru yang mampu mengalahkan Megawati di mata publik. Nama-nama ketua umum partai lainnya masih mendominasi peringkat atas daftar calon pemimpin partai. Temuan ini menunjukkan bahwa PDIP adalah partai yang sekarang menikmati buah atas keberhasilannya sendiri dalam merekrut tokoh-tokoh baru yang melesat hingga mengalahkan patron utamanya sendiri.
Skenario bertarung dalam Kongres PDIP lebih feasible ketimbang mengompori relawan membentuk Partai Pro-Jokowi. Selain membuat partai itu tidak mudah dan murah, belum tentu eksperimen ini sukses di 2019. Tapi harus diakui jika Jokowi maju dalam kongres, apa pun hasilnya, menang atau kalah, hubungan Istana dengan Teuku Umar akan makin membara. Bagaimanapun Mega adalah figur solidarity maker di PDIP yang tak bisa diabaikan pengaruhnya.
Jika solusi yang kedua ini dianggap terlalu berisiko, Jokowi harus mengambil solusi yang terakhir. Persetan dengan impitan politik internal, Jokowi putuskan mengambil kebijakan sesuai dengan kehendak konstitusi dan amanat rakyat. Kalaupun langkah ini mempertaruhkan nasib dukungan politiknya, Jokowi akan dikenal sebagai negarawan. Ia akan dicatat dalam tinta sejarah sebagai pemimpin transformasional, bukan politisi transaksional.***
*sumber: GATRA (5/2/2015)