![]() |
Seperti sistem pemerintahan dan politik lain, sebuah sistem ekonomi kemasyarakatan senantiasa didasarkan atas pemikiran atau dasar falsafah tertentu. Demikian pula neo-liberalisme.
Oleh sebab itu neo-liberalisme tidak hanya bisa diperdebatkan hanya dalam lingkup ilmu ekonomi, tetapi juga dari perspektif sejarah pemikiran filsafat.
Sebagai aliran pemikiran kemasyarakatan, neo-liberalisme sering dikaitkan dengan sistem ekonomi pasar bebas dan berakar dari perpaduan pemikiran sosial, politik dan ekonomi, serta anthropologi falsafah seperti liberalisme, utilitarianisme, individualisme, materialisme, kapitalisme, hedonisme, dan lain sebagainya.
Neo-Liberalisme telah lama diperkenalkan di Indonesia, oleh Bapak Bangsa, sekaligus proklamator kemerdekaan Republik Indonesia, Drs. Mohammad Hatta dalam bukunya Ekonomi Terpimpin (1959).
Sebutan neoliberalisme ini merujuk kepada pemikiran tiga filosof ekonomi terkemuka pasca-Perang Dunia II – Walter Euchen, Friedrich von Hayek, dan Wilhelm Ropke.
Mereka menuntut adanya peraturan yang menjamin lancarnya persaingan bebas dalam kehidupan ekonomi seperti ketetapan nilai mata uang, adanya pasar terbuka di banyak negara, pemilikan swasta atas sarana produksi, kebebasan membuat perjanjian yang tepat mengenai tanggung jawab perusahaan dan politik perekonomian yang sesuai kebutuhan para pemilik modal.
Kini, perlahan ketakutan akan digerogotinya falsafah Pancasila itu semakin menjadi nyata setelah Jokowi dilantik menjadi pemimpin Indonesia dan menjadi seorang pemimpin rezim baru.
Melalui serangkaian kebijakan, baik yang dibuat oleh para menterinya, maupun oleh Jokowi sendiri, semakin membuktikan bahwa neo-liberalisme ekonomi menyeret rakyat dalam kematian secara perlahan, bukan sekedar dalam arti kiasan, namun sudah menjadi kenyataan.
Dalam bidang energi, kita sudah melihat ada banyak kebijakan khas neo-liberalisme yang mampu mematikan usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat peralihan - dari agraris menuju industrialis.
Naiknya Tarif Dasar Listrik dan penyesuaian tarif listrik sudah membuat beberapa usaha kecil bangkrut. Tingkat pengangguran menaik, angka kriminalitas pun diperkirakan segera menyusul naik.
Demikian pula gonjang ganjing harga BBM yang tak kunjung usai, sudah membuat ketidakpastian di sektor perdagangan dan transportasi. Harga BBM premium yang kini dilepas tanpa subsidi, bergerak mengikuti naik turunnya harga minyak dunia.
Begitu pula harga elpiji yang membuat harga jajanan sederhana seperti bakwan dan tempe goreng semakin mengecil ukurannya dan menaik harganya. Konversi dari minyak tanah ke gas, yang dulu dikampanyekan Jusuf Kalla, kini ibarat pil pahit yang harus ditelan. Pengguna elpiji, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan menurut ke mana pun harga melambung.
Dalam sektor pertanian, kebijakan Jokowi untuk secara bertahap menghapus subsidi pupuk, membuat petani, yang selama ini masih mencoba bertahan untuk setia pada pekerjaan yang dari hari ke hari semakin sulit diprediksi profitnya, semakin terpuruk.
Dalam bidang transportasi, adanya ruang fiskal sebagai dampak penghapusan subsidi BBM memungkinkan pemberian subsidi untuk sektor transportasi Kereta Api. Tapi jangan terlalu senang, karena pihak PT KAI menyatakan, bahwa subsidi tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan subsidi jalur komuter. Sementara harga beberapa tiket kelas ekonomi rangkaian kereta jarak menengah dan jauh, justru dinaikkan hingga 400%.
Masih dari bidang transportasi, tudingan bahwa LCC (Low Cost Carrier - Penerbangan Berbiaya Rendah) telah mengabaikan unsur keselamatan, menyebabkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengeluarkan kebijakan untuk menertibkan ambang minimal harga tiket. Dengan kata lain, tak ada lagi perang tiket murah yang selama ini memanjakan konsumen dan membuat rakyat menengah ke bawah bisa menikmati fasilitas transportasi udara.
Begitu pula kebijakan penghapusan beras miskin (Raskin) yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat yang tak mampu membeli beras karena harganya yang melangit. Penghapusan ini membuktikan, pemerintah Jokowi abai pada penderitaan rakyat kecil dan terus berlari melayani kapitalis dunia.
Di sisi lain, Jokowi menjual negeri ini secara murah kepada investor asing. Melalui berbagai program kemudahan investasi dan penjualan BUMN secara sembunyi-sembunyi dengan cara pengalihan saham, memberi lebih banyak bukti bahwa pemerintahan ini telah memilih neo-liberalisme tak hanya sebagai sebuah sistem ekonomi dan juga sebagai sistem filsafat yang akan menggeser nasionalisme dan Pancasila.
Neo-liberalisme yang diusung oleh rezim Jokowi, secara perlahan memang telah membunuh rakyat, mulai dari lini terbawah. Masih inginkah kita diam dan bertahan? (fs)
Dalam bidang energi, kita sudah melihat ada banyak kebijakan khas neo-liberalisme yang mampu mematikan usaha kecil dan menengah yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat peralihan - dari agraris menuju industrialis.
Naiknya Tarif Dasar Listrik dan penyesuaian tarif listrik sudah membuat beberapa usaha kecil bangkrut. Tingkat pengangguran menaik, angka kriminalitas pun diperkirakan segera menyusul naik.
Demikian pula gonjang ganjing harga BBM yang tak kunjung usai, sudah membuat ketidakpastian di sektor perdagangan dan transportasi. Harga BBM premium yang kini dilepas tanpa subsidi, bergerak mengikuti naik turunnya harga minyak dunia.
Begitu pula harga elpiji yang membuat harga jajanan sederhana seperti bakwan dan tempe goreng semakin mengecil ukurannya dan menaik harganya. Konversi dari minyak tanah ke gas, yang dulu dikampanyekan Jusuf Kalla, kini ibarat pil pahit yang harus ditelan. Pengguna elpiji, seperti kerbau yang dicucuk hidungnya dan menurut ke mana pun harga melambung.
Dalam sektor pertanian, kebijakan Jokowi untuk secara bertahap menghapus subsidi pupuk, membuat petani, yang selama ini masih mencoba bertahan untuk setia pada pekerjaan yang dari hari ke hari semakin sulit diprediksi profitnya, semakin terpuruk.
Dalam bidang transportasi, adanya ruang fiskal sebagai dampak penghapusan subsidi BBM memungkinkan pemberian subsidi untuk sektor transportasi Kereta Api. Tapi jangan terlalu senang, karena pihak PT KAI menyatakan, bahwa subsidi tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan subsidi jalur komuter. Sementara harga beberapa tiket kelas ekonomi rangkaian kereta jarak menengah dan jauh, justru dinaikkan hingga 400%.
Masih dari bidang transportasi, tudingan bahwa LCC (Low Cost Carrier - Penerbangan Berbiaya Rendah) telah mengabaikan unsur keselamatan, menyebabkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan mengeluarkan kebijakan untuk menertibkan ambang minimal harga tiket. Dengan kata lain, tak ada lagi perang tiket murah yang selama ini memanjakan konsumen dan membuat rakyat menengah ke bawah bisa menikmati fasilitas transportasi udara.
Begitu pula kebijakan penghapusan beras miskin (Raskin) yang selama ini menjadi tumpuan masyarakat yang tak mampu membeli beras karena harganya yang melangit. Penghapusan ini membuktikan, pemerintah Jokowi abai pada penderitaan rakyat kecil dan terus berlari melayani kapitalis dunia.
Di sisi lain, Jokowi menjual negeri ini secara murah kepada investor asing. Melalui berbagai program kemudahan investasi dan penjualan BUMN secara sembunyi-sembunyi dengan cara pengalihan saham, memberi lebih banyak bukti bahwa pemerintahan ini telah memilih neo-liberalisme tak hanya sebagai sebuah sistem ekonomi dan juga sebagai sistem filsafat yang akan menggeser nasionalisme dan Pancasila.
Neo-liberalisme yang diusung oleh rezim Jokowi, secara perlahan memang telah membunuh rakyat, mulai dari lini terbawah. Masih inginkah kita diam dan bertahan? (fs)