Jokowi, Narsisme dan Memata-matai Media


Pernyataan mengejutkan muncul dari Jokowi. Ini terkait dengan pernyataannya yang menyebutkan mesin intelejen menganalisa terhadap 343 media. Mengapa media dimata-matai pemerintahan Joko Widodo?

Pernyataan Jokowi saat membuka rapat Kabinet Kerja pada Rabu 7 Januari 2015, mulanya tidak ada masalah. Secara normatif ia mewanti terkait dengan pemberitaan media terhadap kinerja Kabinet Kerja dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap pemerintahan.

Namun Jokowi juga mengingatkan media tidak mesti mewakili kinerja pemerintahan.

"Ekspos media belum tentu mewakili kinerja pemerintahan namun perlu saya ingatkan, media itu sebagai pembawa pesan akan membentuk persepsi atau image kinerja pemerintah," kata Jokowi.

Di bagian ujung, Jokowi sempat 'keceplosan' saat menyinggung pihak intelejen menganalisis sebanyak 343 media melalui mesin intelejen manajemen.

"Dalam kurun hampir tiga bulan ini kita menganalisis oleh mesin intelijen media manajemen dari 343 media, dan mohon maaf," kata presiden. Lalu, pengeras suara dalam rapat kabinet itu menghilang. Pihak protokoler Istana mematikan mesin pengeras suara tersebut.
Pernyataan inilah yang menimbulkan polemik di tengah publik. Jika merujuk jejak rekam Jokowi, ia tak lain merupakan produk yang dibesarkan media. Itu terhitung sejak dirinya menjadi Walikota Solo yang dimulai dengan soal mobil Esemka. Dari Esemka itu pula yang mengantarkannya menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga pada akhirnya menjadi Presiden RI.

Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq tidak menampik bila di Badan Intelejen Negara (BIN) terdapat satu unit kerja yang khusus menganalisa pemberitaan media.

"Tapi catatan pentingnya bahwa semua analisis dan rekomendasi dari intelejen itu, jangan malah dijadikan instrumen untuk mengekang kemerdekaan dan demokratisasi pers," kata Mahfudz di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 8 Januari 2015.

Mahfud mengingatkan agar Jokowi membiarkan media terpolarisasi sebagaimana yang terjadi selama ini yang bertujuan adanya keseimbangan dalam pemberitaan terhadap kinerja pemerintah.

"Jangan pemerintah mengintervensi untuk menciptakan keseimbangan menurut persepsi pemerintah," ingat politikus PKS ini.

Sementara terpisah, Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tantowi Yahya mengaku kaget dengan pernyataan Jokowi terkait media. Menurut dia, selama ini Jokowi merupakan media darling.

"Jadi aneh kalau Jokowi saat ini memata-matai pers yang telah membantunya mengantarkannya menjadi presiden. Bahkan beberapa media cenderung memberitakan berlebihan apapun aktivitas Jokowi," kata Tantowi.

Ia juga tidak menampil bila unit kerja BIN memberi masukan kepada presiden terkait dengan analisa media. Namun Tantowi menyebutkan presiden sebelum Jokowi tidak pernah mengemukakan hal tersebut.

"BIN dalam rangka memberikan masukan kepada pemerintah, dalam dimensi itu sah saja, tapi memata-matai pers untuk kepentingan menjegal pers maka itu kemunduran dan tidak boleh dibiarkan," cetus Tantowi.

Jokowi termasuk salah satu presiden RI yang melek dan sadar media. Hal ini pula diikuti oleh sejumlah menteri yang berada di barisan Kabinet Kerja (KK). Maka jangan aneh bila publik saat ini dibombardir dengan aktivitas menteri yang jauh dari tugas, pokok dan fungsi (tupoksi) kementeriannya. Seperti menteri meloncat pagar, menteri makan di warung tegal hingga menteri tidur di ruang tunggu umum sebuah bandara.

Narsisme para pembantu Presiden belakangan ini lambat laun justru menggerus ekspektasi yang berlebih dari publik terhadap pemerintahan ini. Dua bulan lebih pemerintahan Jokowi, publik mengetahui permulaan yang menggembirakan dalam lima tahun ke depan.

Sebaliknya, publik justru disuguhi dengan kebijakan kenaikan harga BBM, kenaikan harga LPG hingga melambungnya harga bahan sembako serta jasa dan transportasi. Narsisme kini dibayar cukup mahal oleh rakyat. [mdr/fs]
Baca juga :