Salah satu yang paling krusial dalam pemerintahan Jokowi-JK pada masa 100 harinya bukan pada semata-mata dominannya Jusuf Kalla sebagai wakil presiden dan menteri-menteri terkait di pos ekonomi atau karena rentannya Jokowi sebagai petugas partai yang menuruti arahan-arahan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Namun, kata pengamat perminyakan Hendrajit dari Global Future Institute, Jokowi sangat rentan, bahkan menjadi pintu masuk, terhadap kesinambungan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang telah berlangsung selama 10 tahun. Karena, Jokowi tidak memiliki skema atau rencana pemerintahan dan hanya melanjutkan rencana kebijakan.
“Jokowi tidak punya rencana induk, yang menyebabkan Jokowi rentan,” kata Hendrajit pada “Dialog 100 Hari Jokowi” di Jakarta, Rabu kemarin, 28 Januari 2015.
Ia mengungkapkan, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan Mineral dan Batubara sebenarnya sudah dirancang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba, tapi baru diberlakukan tahun 2014. Mengenai Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2014, ada semacam surat perintah tidak resmi dari SBY yang menggugurkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, yang menyebutkan “boleh ekspor tanpa bikin smelter”.
Undang-undang tersebut, tambahnya, dibentuk untuk membendung dominasi asing, salah satunya Freeport. Indikasi ini datang dari pemerintahan SBY yang sekaligus mempertegas langkah malu-malu SBY yang secara skematik dilakukan.
Jokowi, lanjutnya, rentan diintervensi pihak asing melalui modus kerja sama ekonomi. Jokowi bukan semata dalam kendali Jusuf Kalla, tapi dalam kontrol SBY. Indikator berada pada permainan di Undang-Undang Minerba. Sebelum SBY turun, peraturan pemerintahnya sudah dikerjakan oleh Sudirman Said. “ini kan artinya keluar dari mulut buaya masuk mulut harimau,” ujarnya.
Sementara itu, sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi PDI P Effendi Simbolon menyatakan, Jokowi dikelilingi orang-orang Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang membawa misi di luar misi PDI P. Padahal, katanya, pasangan Jokowi-JK dihantarkan PDI P bersama partai pendukung lainnya plus dukungan masyarakat luas. Namun, ketika berhasil meraih pucuk kepemimpinan tertinggi, Jokowi justru mementingkan kelompok di luar partai pengusung dan pendukungnya.
“Orang-orang itu PSI, orang sosialis, PSSI, partai sok sosialis Indonesia,” kata Effendi di Gedung DPR RI, Jakarta, Selasa, 27 Januari 2015.
Ia juga menyinggung bagaimana orang-orang sosialis itu menguasai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Effendi heran, ketika KPK membuka akses bagi kelompok sosialis, mengapa KPK tidak memberikan kesempatan bagi kelompok lain. Celah-celah ini, tambahnya, membahayakan bagi keberlangsungan pemerintahan Jokowi-JK. Sebab, katanya, orang-orang sosialis ini memosisikan pemerintah berhadap-hadapan secara konfrontatif dengan partai nonpemerintah dan rakyat Indonesia.
“Kami terdepan menjaga Jokowi, kami proyeksikan 10 tahun. Tapi, kembali lagi, jangan pelihara dong orang-orang sosialis,” tutup Effendi. [*/fs]