![]() |
Bahkan para analis melihat, dengan mencermati perjalanan Jokowi sejak dilantik hingga pekan ini, banyak ditemukan berbagai keganjilan, kepura-puraan, dan kepalsuan. Antara harapan dan kenyataan masih jauh panggang dari api.
Dalam kaitan ini, analis anggaran dan kebijakan publik, Uchok Sky Khadafi, menilai Jokowi tidak peduli dengan berbagai kritik terhadap kebijakannya yang dinilai menyengsarakan masyarakat.
"Jokowi masih bisa cengengesan meski saat ini masyarakat hidup susah karena berbagai kebijakannya yang tidak prorakyat,'' tandas Uchok.
Karena politik transaksional masih kuat, maka masuk akal kalau Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menyatakan, ada anomali hubungan antara demokrasi dan korupsi, antara ekonomi dan korupsi, yang menandakan perkembangan demokrasi dan ekonomi di Indonesia tergolong rapuh atau keropos.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan melonjaknya produkdomestik bruto juga tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebab hanya dinikmati kalangan menengah atas, sedangkan rakyat kalangan bawah justru bertambah miskin.
Malahan, ditilik dari Gini Ratio, yakni metode perhitungan mengenai kesenjangan pendapatan, angka kesenjangan di Indonesia cenderung menguat. Semakin tinggi Gini Ratio, semakin lebar jurang kesenjangan antarmasyarakat. Pada tahun 2013, Gini Ratio Indonesia mencapai 0,41 (skala 0-1), naik dibandingkan lima tahun lalu yang sebesar 0,35.
Persoalannya, sejumlah menteri Ekuin yang diangkat juga dianggap publik tidak memiliki kapabilitas, kredibilitas, dan sikap profesionalitas yang mumpuni. Akibatnya, Romo Benny Susetyo pendukung berat Jokowi saat Pilpres, menyebut kabinet transaksional sangat kentara di tubuh Kabinet Kerja yang diharapkan rakyat bisa menghasilkan prestasi.
Berbagai kalangan menyayangkan bahwa Kabinet Kerja yang sudah gendut itu ternyata dihuni para menteri yang justru terkesan bukannya menambah akselerasi perubahan ke arah yang lebih baik lagi sebagaimana harapan rakyat banyak, namun semakin membebani pengeluaran anggaran negara hanya untuk memberi nafkah mereka.
Ahasil, isu interpelasi dan kritik publik di media terus meninggi, dan itu musti jadi renungan bagi Jokowi bahwa kinerja kabinetnya yang Neoliberal, harus direformasi dan ekonomi konstitusi harus jadi pegangan kunci. [inilah/fs]
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan melonjaknya produkdomestik bruto juga tidak meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebab hanya dinikmati kalangan menengah atas, sedangkan rakyat kalangan bawah justru bertambah miskin.
Malahan, ditilik dari Gini Ratio, yakni metode perhitungan mengenai kesenjangan pendapatan, angka kesenjangan di Indonesia cenderung menguat. Semakin tinggi Gini Ratio, semakin lebar jurang kesenjangan antarmasyarakat. Pada tahun 2013, Gini Ratio Indonesia mencapai 0,41 (skala 0-1), naik dibandingkan lima tahun lalu yang sebesar 0,35.
Persoalannya, sejumlah menteri Ekuin yang diangkat juga dianggap publik tidak memiliki kapabilitas, kredibilitas, dan sikap profesionalitas yang mumpuni. Akibatnya, Romo Benny Susetyo pendukung berat Jokowi saat Pilpres, menyebut kabinet transaksional sangat kentara di tubuh Kabinet Kerja yang diharapkan rakyat bisa menghasilkan prestasi.
Berbagai kalangan menyayangkan bahwa Kabinet Kerja yang sudah gendut itu ternyata dihuni para menteri yang justru terkesan bukannya menambah akselerasi perubahan ke arah yang lebih baik lagi sebagaimana harapan rakyat banyak, namun semakin membebani pengeluaran anggaran negara hanya untuk memberi nafkah mereka.
Ahasil, isu interpelasi dan kritik publik di media terus meninggi, dan itu musti jadi renungan bagi Jokowi bahwa kinerja kabinetnya yang Neoliberal, harus direformasi dan ekonomi konstitusi harus jadi pegangan kunci. [inilah/fs]