Oleh Hasmi Bakhiar*
Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap 25 Januari rakyat Mesir memperingatinya sebagai hari revolusi yang berhasil menumbangkan diktator Husni Mubarak. Namun sejak kudeta militer 3 Juli 2013, peringatan revolusi 25 Januari berubah menjadi momentum perlawanan terhadap pemerintah kudeta yang hingga saat ini masih terus berlanjut.
Begitupun 25 Januari tahun ini, rakyat Mesir penentang kudeta kembali menjadikannya sebagai momentum untuk melengserkan reaim militer As-Sisi. Jama'ah Ikhwanul Muslimin (IM) yang merupakan kekuatan rakyat terbesar di Mesir seperti biasa memimpin aksi damai di jalan-jalan seantero Mesir.
Dalam aksi damai menentang kudeta, seringkali militer Mesir dibawah komando As-Sisi bersikap represif. Sudah ribuan nyawa melayang dan puluhan ribu penentang kudeta dipenjara. Dari pihak militerpun begitu, mereka tidak luput dari serangan kelompok ekstremis yang entah mereka berjuang atas nama siapa.
Peristiwa penyerangan Kamis 29/01/2015 kemarin sebagai salah satu contoh, dikabarkan milisi bersenjata menyerang tentara Mesir dan melakukan pembakaran pos-pos militer yang menewskan 44 tentara dan melukai 70 lainnya. Penyerangan tersebut terpusat di wilayah bagian utara Sinai. Mulai dari El Arish, Syaikh Zuwaid sampai daerah Rafah.
Penyerangan yang mengatas namakan penentang kudeta tersebut membuat banyak kalangan bertanya: Apakah penentang kudeta di Mesir mengubah strategi mereka menjadi aksi kekerasan? Bukankah selama ini slogan mereka adalah 'Silmiyatna aqwa min ar-roshos' (aksi damai kami lebih kuat dari apapun) bahkan dari senjata rezim militer sekalipun?
Kita harus memahami bahwa penentang rezim kudeta As-Sisi terdiri dari banyak faksi dan kelompok. Memang kekuatan terbesar adalah Ikhwanul Muslimin, namun ada kekuatan lain yang juga menjadi musuh rezim kudeta, seperti kelompok liberal, sosialis sampai ekstremis.
Ikhwanul Muslimin dalam menentang kudeta dikenal dengan melakukan aksi damai di jalan-jalan Mesir. Jama'ah tersebut menjadi penentang kudeta paling lantang. Hampir setiap hari sejak kudeta 3 Juli 2013 silam mereka turun ke jalan melakukan demonstrasi menekan militer agar menyerahkan kekuasaan kepada presiden sah Muhammad Mursi. Dalam menentang kudeta, jama'ah tersebut sangat menjauhi aksi kekerasan seperti menyerang pos militer atau tentara yang sedang bertugas.
Kelompok penentang kudeta lainnya yang dikenal kerap melakukan aksi kekerasan adalah Anshar Bet al Maqdis yang terpusat di semenanjung Sinai. Pada awalnya kelompok ini menyatakan bagian dari Al-qaidah, namun baru-baru ini mereka menyebut sebagai pengikut Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Dan dalam penyerangan kemarin, kelompok Anshar Bet al Maqdis menyatakan sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Semenanjung Sinai sejak era Husni Mubarak dikenal sebagai daerah konflik. Pemerintah pusat memperlakukan daerah tersebut seperti anak tiri dan bukan bagian dari Mesir. Kekecewaan inilah yang menjadi faktor utama atas suburnya gerakan radikal di sana, penyerangan terhadap pasukan Mesir yang sedang bertugas kerap terjadi, bahkan sering memakan korban jiwa.
Dari awal, Ikhwanul Muslimin menjadikan aksi damai harga mati dalam merebut revolusi mereka yang dirampok militer. Mereka tidak memiliki opsi untuk angkat senjata seperti yang dilakukan kelompok Anshar Bet al Maqdis. Walaupun sering mendapat tawaran kerja sama dari kelompok militan, tetapi Ikhwanul Muslimin selalu menolak, bagi mereka aksi damai adalah harga mati.
Sikap tersebut bukan berarti Ikhwanul Muslimin tidak punya pengalaman dalam peperangan bersenjata. Ketika revolusi Arab meletus pada tahun 1936, Ikhwanul Muslimin langsung membentuk pasukan bersenjata untuk dikirim ke Palestina melawan penjajah zionis Yahudi.
Bahkan, pada tahun 1940 ketika perang dunia kedua masih bergolak, Hasan Albanna mendirikan pasukan khusus untuk melawan penjajahan Inggris di Mesir. Pada awalnya pasukan khusus tersebut dipimpin oleh Abdurrahman Assindi. Karena sifatnya yang sangat rahasia, anggota pasukan tersebut tidak ada yang tahu kecuali anggota pasukan itu sendiri. Semua tugas langsung dibawah komando Hasan Albanna sebagai Mursyid Ikhwanul Muslimin. Anggota mula pasukan tersebut merupakan kader-kader pilihan, seperti Musthafa Masyhur, Mahmud Shibagh, Ahmad Husnayain dan beberapa kader awal Ikhwanul Muslimin lainnya.
Ada kisah menarik tentang pasukan khusus ini, kisah ini mungkin menjadi jawaban atas sikap Ikhwanul Muslimin yang selalu mengedepankan aksi damai dalam menentang rezim militer sampai hari ini.
Aksi pertama pasukan khusus tersebut adalah melakukan pemboman ke sebuah gedung yang sedang dipakai pesta ulang tahun oleh tentara Inggris. Aksi tersebut dilakukan oleh Abdul Mun'im Ibrahim dan Husen Abdussami. Namun mereka tertangkap dan dihukum tiga tahun penjara oleh hakim Ahmad Khazendar. Abdurrahman Assindi sebagai pimpinan pasukan tidak terima, dengan bujukan dari Gamal Abdunnasir yang juga anggota pasukan khusus waktu itu, mereka merencanakan dan melakukan pembunuhan terhadap hakim Khazendar, tanpa kordinasi dengan Hasan Albanna sebagai Mursyid.
Mendengar pembunuhan tersebut Hasan Albanna sangat marah, bahkan Hasan Albanna sempat berniat membubarkan Ikhwanul Muslimin karena dinilai sudah keluar dari prinsip perjuangan. Dalam prinsip dakwah Ikhwanul Muslimin, membunuh seperti itu sangat tidak dibenarkan, perbedaan politik dan kedzoliman rezim tidak serta merta menghalalkan darah mereka untuk dibunuh.
Sejak awal didirikannya Ikhwanul Muslimin, Hasan Albanna sudah meletakkan dasar-dasar perjuangan dan mihwar yang akan mereka lewati. Hasan Albanna juga meletakkan prinsip perjuangan dalam bernegara. Diantara prinsip tersebut adalah:
1. Mendukung pemerintah selama tidak memusuhi dakwah Ikhwanul Muslimin
2. Mendukung pemerintah yang sungguh-sungguh berjuang demi kebaikan bangsa
3. Mendorong negara agar lebih peduli dengan permasalah Palestina, dan menjadikan issue Palestina sebagai issue negara
4. Menjauhi konfrontasi bersenjata dengan pemerintah, kalaupun berseberangan sikap, mereka akan menekan dengan menggelar aksi damai.
Mungkin prinsip ini juga yang membuat Hasan Albanna tidak pernah berhenti berkirim surat kepada raja Faruk waktu itu, memberi nasehat agar raja Mesir itu menjalankan pemerintahan berlandaskan syariat islam, walaupun pada akhirnya raja Faruk menempatkan Ikhwanul Muslimin sebagai musuh.
Prinsip di atas terus dipegang oleh Ikhwanul Muslimin sebagai jama'ah sampai hari ini. Sistem kaderisasi yang bagus membuat transformasi fikroh berjalan efektif. Orisinalitas manhaj tidak hilang walaupun sudah berganti generasi, apalagi dalam memegang prinsip 'tsawabit' jama'ah. Maka wajar bila ajakan berbagai pihak untuk berjuang dengan kekerasan selalu mereka tolak. Bahkan Ikhwanul Muslimin atas nama jama'ah mengecam penyerangan terhadap militer yang terjadi di Sinai, mereka menegaskan kekerasan bukan solusi dalam merebut kekuasaan.
Ikhwanul Muslimin sebagai pemain lama di Mesir sudah sangat matang dan paham dengan kondisi di sana, apalagi mereka menghadapi kudeta bukan kali pertama. Kekerasan yang ditawarkan ISIS hanya akan menyuburkan radikalisme dan menjadikan Mesir seperti Suriah dan Irak, perang berkepanjangan. Menurut Ikhwanul Muslimin kembalinya kekuasaan ke tangan rakyat adalah satu-satunya solusi atas konflik Mesir, dan itu harus direbut dengan cara damai dan konstitusional.
Disinilah letak perbedaan perjuangan Ikhwanul Muslimin dengan ISIS. Ikhwanul Muslimin meyakini perbaikan bisa dilakukan dengan damai dan konstitusional. Kecuali terhadap musuh negara dari luar seperti para penjajah dan zionis Yahudi di Palestine, mereka tidak segan-segan untuk angkat senjata. Terbukti ketika melawan penjajahan Inggris dan revolusi Arab di Palestine. Mereka sudah buktikan itu puluhan tahun sebelum ISIS lahir, tetapi untuk mengarahkan senjata terhadap saudara sesama muslim dengan alasan berbeda partai dan sikap politik? IM tegaskan kan, No!
*Hasmi Bachtiar, Alumni Al-Azhar Mesir, Saat ini menempuh S2 di Lille Perancis Jurusan Hubungan Internasional. (Twitter: @hasmi_bakhtiar)
Tulisan lain: Raja Salman, Peta Baru Pergolakan Negara Teluk, Dan Faktor Erdogan