Beberapa hari terakhir ini, sejumlah suara kritis muncul dari politisi PDI Perjuangan terhadap kinerja Presiden Jokowi dan para pembantunya. Fenomena janggal di saat menjadi partai penguasa. Ada apa di balik suara kritis tersebut?
PDI Perjuangan saat ini tentu berbeda dengan 10 tahun terakhir. Dulu di era SBY, PDI Perjuangan menjadi partai oposisi pemerintah. Kini, sejak 20 Oktober 2014, partai berlambang banteng moncong putih itu menjadi tulang punggung pemerintah. Rapat Pimpinan Nasional di Semarang pada September lalu secara resmi memutuskan PDIP sebagai partai pemerintah.
Aktor yang muncul sebagai kritikus Jokowi dan pembantunya, yang paling nyaring Effendi Simbolon. Tanpa tedeng aling-aling sejumlah kritik keras ditujukan kepada Jokowi dan pembantunya. Ia menuding eksekutif pemerintahan banyak yang tidak kompeten.
"Yang atur anak kecil, yang diatur prematur, inkubator jadinya," cetus Effendi Simbolon dalam sebuah diskusi di Jakarta.
Ia juga mengkritik lelaku Jokowi saat membentuk Tim Independen guna merespons konflik Polri-KPK. Menurut dia, semestinya Jokowi memanfaatkan Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) untuk meminta saran dan pertimbangan, bukan justru memanggil pihak luar istana.
Suara cenderung moderat muncul dari mantan Sekjen PDI Perjuangan Pramono Anung. Menurut Anung, selama 100 hari pemerintahan Jokowi-JK publik belum melihat hasil konkret dari blusukan para menteri.
"Presiden sudah bekerja luar biasa, blusukan ke sana kemari, tapi rakyat itu ingin menunggu hasil konkret, terutama dari para menterinya," kata Pramono.
Suara kritis kader PDI Perjuangan terhadap pemerintahan Jokowi sebenarnya telah lama muncul. Tepatnya saat penetapan menteri dalam Kabinet Kerja 27 Oktober 2014 lalu. Komposisi kabinet yang minim diisi oleh kader PDI Perjuangan menjadi pemicunya.
"Ada semacam kerisauan. Maunya kader di daerah proporsional, PDIP tak sama dengan PKB, masak PKB juga dapat 4 menteri sama dengan PDIP," ujar TB Hasanuddin sesaat melihat komposisi Kabinet Kerja.
Suara kekecewaan di awal pembentukan kabinet tak berlangsung lama. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri mampu mendinginkan suasana di internal partai. Namun bagaimana dengan situasi saat ini?
Manuver yang dilakukan Effendi Simbolon dengan bersuara kritis dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengingatkan Jokowi dari keberadaan sengkuni di lingkar dalam Istana.
PDI Perjuangan melihat ingin menjauhkan Jokowi dari aktivis LSM-LSM yang memengaruhi Jokowi. Belum lagi keberadaan tokoh-tokoh yang memiliki afiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) saat ini nampak menguasai pos-pos penting di pemerintahan Jokowi. Keberadaan PSI sejatinya secara formal tak ada lagi dalam pentas politik nasional. Partai ini Agustus 1960 telah dibubarkan oleh Presiden Soekarno di era Orde Lama.
Soal kelompok PSI ini sebenarnya juga telah lama diendus internal PDI Perjuangan. Seperti saat masa kampanye Pilpres 2014 lalu, kegelisahan menghinggapi kader PDI Perjuangan atas kedekatan sejumlah tokoh di luar PDI Perjuangan.
Oleh PDI P, istilah PSI dan tokoh-tokohnya yang berada di lingkaran dalam Jokowi, diplesetkan menjadi “PSSI”.
Entahlah, kegelisahan salah satu petinggi PDI Perjuangan itu apakah kini menjadi kenyataan atau tidak? Yang pasti, Effendi Simbolon lantang bersuara mengkritik Istana. Bisa saja, suara semacam Effendi Simbolon menjadi silent majority di internal PDI Perjuangan. [fer/fs]