#SalamDuaBulan

Pemerintahan Jokowi memang baru berjalan satu bulan. Namun rentang waktu satu bulang tersebut terasa sangat lama dan menyesakkan apalagi bila dilihat dari sudut pandang masyarakat kecil, yang tak terkoneksi dengan teknologi.

Masyarakat kecil, yang ketika kampanye berteriak-teriak gembira “Dua….Dua...Dua…”, kini mulai terdiam dan merasakan kenyataan yang tak sesuai dengan janji-janji ketika kampanye.

Masyarakat kecil memang tak menampakkan suaranya di media-media sosial seperti twitter, facebook apalagi memiliki keberanian untuk menulis di forum-forum seperti kompasiana. Masyarakat kecil itu hanya punya forum silaturahim langsung di warung-warung makan, kedai-kedai kopi dan angkringan, yang kini porsi lauk pauknya mulai menciut.

Dalam salah satu silaturahim warga tersebut, tercetus kekecewaan kepada pemerintah yang 
kini terkesan jumawa, jauh dari kata sederhana dan wong cilik. Bila petinggi-petinggi di pusat sana sibuk berebut remah-remah kekuasaan, wong cilik hanya bisa mlongo ketika hendak membayar bensin yang harganya naik “cuma” dua ribu kata kelas menengah Jakarta itu.

“Dua ribu bisa jadi 4 potong bakwan”, cetus seorang tukang becak yang biasa nongkrong di angkringan pojok dekat rumah.

“Sego kucing lawuh tahu sepotong!”, sahut kawannya.

“Lombok gede sebiji!”, sahut seorang Ibu yang mampir membeli sego kucing.

Pembicaraan itu dipotong oleh pemilik angkringan. 
“Lha memangnya kalau ngisi bensin cuma seliter? Mana cukup?”, tanyanya santai.

“Kok naiknya banyak banget to? Jatah bensin anakku naik lagi,” keluh seorang warga.

“Sampeyan-sampeyan ini dulu nyoblos Jokowi to?”, tanya seorang mahasiswi yang mampir untuk membeli es teh.

“Iya!”, jawab mereka hampir kompak.

“Nyesel gak sekarang?”, tanya mahasiswi itu lagi.

Mereka sepakat untuk menganggukkan kepala.


Di forum yang berbeda, seorang ibu sedang menawar sayuran dengan ngotot. Menurutnya, seikat bayam seharusnya seribu rupiah. Tapi si pedagang kukuh tak mau melepas bayamnya dengan harga seribu. 

“Seribu limaratus, ndak bisa kurang, ongkosnya naik, Bu. Mosok saya mesti nombok?”

“Mosok naik? Kan Pak Jokowi janji nggak naikin BBM”, sungut Ibu itu.

“Woo, telat Bu. Sudah naik dari tanggal 18 kemarin. Naik 2 ribu”, ujar si pedagang sembari mengacungkan 2 jarinya”.


Pada sebuah forum yang sedikit serius dan elit, dua orang jurnalis terlibat diskusi dengan seorang mahasiswa kedokteran yang tak lulus-lulus. Ketiganya adalah bagian dari masyarakat yang merasakan kepemimpinan Jokowi juga.

“Jokowi ini ngawur. Blunder banget keputusan-keputusannya,” ucap si jurnalis berapi-api.

“Pernah ada yang bercanda begini… #SalamDuaTahun..”, sahut si mahasiswa sambil tertawa.

Dua tahun yang dimaksud di sini, tentulah dua tahun kepemimpinan Jokowi.

Menilik cara-cara Jokowi mendesain struktur kabinet, lalu mengisi anggota kabinetnya dengan kader-kader parpol pendukungnya dan mengabaikan rekomendasi KPK (yang sebelumnya selalu digembargemborkan Jokowi sebagai pihak yang akan ditaati rekomendasinya), menaikkan harga BBM semaunya tanpa dapat menjelaskan secara transparan hitung-hitungan produksi BBM, dan yang terakhir, menempatkan seorang kader parpol sebagai jaksa agung, layaklah bila publik meramalkan, kepemimpinan Jokowi hanya akan bertahan selama dua tahun, dengan kata lain dimungkinkan berakhir tragis seperti kepemimpinan Soeharto yang dilengserkan mahasiswa melalui aksi demo besar-besaran, atau Gus Dur yang diturunkan melalui konspirasi politik parlemen.

“Dua tahun? Dua tahun?”, tanya seorang petani yang kemudian mendapat kisah itu dari sang jurnalis.

“Kelamaan!”, tegas petani itu lagi. Ia kemudian mengacungkan dua jarinya.

“DUA BULAN”, tandasnya.

“Dua tahun kelamaan. Pemerintah pasti sudah bisa ngobok-ngobok negeri ini. Bisa jual aset bangsa. Bisa bikin kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Bisa korupsi tanpa dihukum,” tegas petani itu lagi.

“DUA BULAN!”, ulangnya sambil mengacungkan dua jarinya.

Suara petani, tukang becak, pemilik angkringan, tukang sayur, dan ibu-ibu rumah tangga sederhana mungkin tak akan pernah muncul ke media sosial. Namun suara mereka nyata, dan jumlah mereka pun tak sedikit.

Sudah sewajarnya bila Jokowi mulai berbenah diri dan mendengarkan rakyat, bukan para pembisiknya. Jangan sakiti rakyat dengan tindakan-tindakan inkonstitusional yang ujung-ujungnya dapat merugikan Jokowi sendiri. Kecuali Jokowi ingin berakhir dengan acungan angka dua.

#SalamDuaBulan

http://presentasi.videomotivasi.com/

Baca juga :