Pemimpin adalah Teladan



Oleh: Muhsin Hariyanto*

Seorang pemimpin, kata Yusuf al-Qaradhawi – mengutip pernyataan Rasulullah s.aw. — harus mampu memberi contoh. Jangan banyak berharap rakyat berbuat baik ketika sang Pemimpin tidak mau memulainya untuk memberi contoh “yang terbaik”.

Bahkan, seorang pemimpin harus selalu berpikir tentang apa yang bisa diperbuat “untuk” rakyatnya, bukan sebaliknya selalu menuntut rakyatnya untuk berbuat sesuatu pada dirinya. Selalu mempunyai keinginan untuk menebarkan “cinta” pada rakyatnya, hingga mereka (rakyat) sadar untuk mencintainya.

Seperti sabda Rasulullah s.a.w. (sebagaimana yang dinyatakan kembali oleh Al-Baihaqi dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i dalam kitab As-Sunan al-Kubrâ, juz VII, hal. 158) kepada umatnya:

 خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ

“Sebaik-baik pemimpin kamu adalah orang-orang yang kamu cintai mereka dan mereka pun mencintaimu, dan kamu doakan dan mereka mendoakanmu. Dan seburuk-buruk pemimpinmu adalah mereka yang kamu benci dan mereka pun membencimu, kamu kutuk dan mereka pun mengutukmu.”

Bahkan Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadis yang semakna dari ‘Auf bin Malik, bahwa Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

 خِيَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُحِبُّونَهُمْ وَيُحِبُّونَكُمْ وَيُصَلُّونَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّونَ عَلَيْهِمْ وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمْ الَّذِينَ تُبْغِضُونَهُمْ وَيُبْغِضُونَكُمْ وَتَلْعَنُونَهُمْ وَيَلْعَنُونَكُمْ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلَا نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ فَقَالَ لَا مَا أَقَامُوا فِيكُمْ الصَّلَاةَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْ وُلَاتِكُمْ شَيْئًا تَكْرَهُونَهُ فَاكْرَهُوا عَمَلَهُ وَلَا تَنْزِعُوا يَدًا مِنْ طَاعَةٍ

“Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendoakan kalian dan kalian mendoakan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka.” Beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka?” maka beliau bersabda: “Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka.”

Islam mengajarkan bagaimana seorang pemimpin seharusnya bisa mendahulukan kepentingan rakyatnya, dengan gagasan “îtsâr.” Îtsâr adalah mendahulukan kepentingan saudaranya atas dirinya dalam segala sesuatu yang ia cintai. Ia rela untuk lapar demi mengenyangkan saudaranya, ia rela haus untuk menyegarkan saudaranya, berjaga demi menidurkan saudaranya, ia bersungguh-sungguh untuk mengistirahatkan saudaranya, ia rela untuk ditembus peluru dadanya untuk menebus saudaranya.

Al-Quran, kata Yusuf al-Qaradhawi, telah mengemukakan gambaran yang jelas tentang masyarakat Islam di Madinah yang memperlihatkan makna îtsâr:

وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshar) ‘mencintai’ orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (QS al-Hasyr, 59: 9).

Sementara itu, Rasulullah s.a.w. memberikan gambaran lain (sebagaimana diriwayatkan oleh al-Bukhari), bahwa Sa’ad bin Rabi’ (salah seorang sahabat Rasulullah s.a.w.) telah menawarkan kepada sahabat lain (Abdur Rahman bin ‘Auf), — setelah keduanya dipersaudarakan oleh Rasulullah s.a.w. — untuk bersedia diberi separuh dari hartanya, salah satu dari rumahnya dan salah satu dari isterinya untuk dicerai, lalu disuruh menikahinya. Maka Abdurahman bin ‘Auf pun menjawab: “Semoga Allah memberkahi keluargamu, semoga Allah memberkahi rumahmu, dan semoga Allah memberkahi hartamu, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, untuk itu tunjukilah aku di mana pasar.” Sebagaimana hadis berikut:

قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمَّا قَدِمْنَا الْمَدِينَةَ آخَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنِي وَبَيْنَ سَعْدِ بْنِ الرَّبِيعِ فَقَالَ سَعْدُ بْنُ الرَّبِيعِ إِنِّي أَكْثَرُ الْأَنْصَارِ مَالًا فَأَقْسِمُ لَكَ نِصْفَ مَالِي وَانْظُرْ أَيَّ زَوْجَتَيَّ هَوِيتَ نَزَلْتُ لَكَ عَنْهَا فَإِذَا حَلَّتْ تَزَوَّجْتَهَا قَالَ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ لَا حَاجَةَ لِي فِي ذَلِكَ هَلْ مِنْ سُوقٍ فِيهِ تِجَارَةٌ قَالَ سُوقُ قَيْنُقَاعٍ قَالَ فَغَدَا إِلَيْهِ عَبْدُ الرَّحْمَنِ فَأَتَى بِأَقِطٍ وَسَمْنٍ قَالَ ثُمَّ تَابَعَ الْغُدُوَّ فَمَا لَبِثَ أَنْ جَاءَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ عَلَيْهِ أَثَرُ صُفْرَةٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجْتَ قَالَ نَعَمْ قَالَ وَمَنْ قَالَ امْرَأَةً مِنْ الْأَنْصَارِ قَالَ كَمْ سُقْتَ قَالَ زِنَةَ نَوَاةٍ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ نَوَاةً مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلِمْ وَلَوْ بِشَاةٍ

“’Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu berkata, ketika kami sampai di Madinah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mempersaudarakan antara aku dengan Saad bin ar-Rabi’, lalu Saad bin ar-Rabi’ berkata: “Aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya, maka aku beri separuh hartaku untukmu, kemudian lihatlah diantara kedua isteriku siapa yang engkau suka nanti akan aku ceraikan untukmu, jika ia telah halal maka nikahilah”. Perawi berkata: “Maka ‘Abdurrahman berkata kepadanya; “Aku tidak membutuhkan itu. Begini saja, apakah ada pasar yang sedang berlangsung transaksi jual beli saat ini?” Sa’ad menjawab: “Pasar Qainuqa’”. Perawi berkata; “Lalu Abdur Rahman pergi kesana, ia membawa keju dan minyak samin. Perawi berkata lagi; “Dia melakukan hal itu pada hari-hari berikutnya. ‘Abdurrahman tetap berdagang disana hingga akhirnya ia datang dengan mengenakan pakaian yang bagus dan penuh aroma wewangian. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya: “Apakah engkau sudah menikah?” Dia menjawab; “Ya, sudah”. Lalu beliau bertanya lagi: “Dengan siapa?” Dia menjawab; “Dengan seorang wanita Anshar”. Beliau bertanya lagi: “Dengan mahar apa engkau melakukan akad nikah?” Dia menjawab; “Dengan perhiasan sebiji emas, atau sebiji emas”. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, kepadanya: “Adakanlah walimah (resepsi) walau hanya dengan seekor kambing”.

Ini gambaran îtsâr (seorang sahabat, yang ditunjukkan oleh Sa’ad bin Rabi’) yang amat langka dan hampir tidak kita dapatkan saat ini, yang kemudian dibalas dengan sikap ‘iffah (kehati-hatian), yang mulia dan bijaksana (oleh Abdurahman bin Auf). Keduanya menampilkan contoh ideal sikap anggota masyarakat Islam yang dibangun oleh Rasulullah s.a.w. di Madinah, yang senantiasa kita idam-idamkan sebagai bentuk ideal sebuah masyarakat, yang lebih berkeinginan untuk memberi antasesama, bukan – justeru – “meminta”.

Islam mengajarkan agar umatnya, dengan sangat spirit (ruh atau semangat) mahabbah (cinta) dan ukhuwwah (persaudaraan) bersedia untuk menjadi bagian dari umat manusia yang memiliki kesadaran kolektif umat untuk saling memberi, yang dengan keduanya umat manusia tidak mudah dipecah-belah dengan berbagai ragam pluralitas, termasuk “kepentingan-kepentingan sesaat”, sehingga tidak ada kesempatan untuk berseteru, meskipun ada sejumlah perbedaan kepentingan. Tidak lagi ada peluang untuk bersikap “congkak” dan “merendahkan orang lain”, karena merasa lebih besar dan kuat. Dan, pada akhirnya, juga tidak ada kesempatan untuk membenci siapa pun yang berbeda dengan mengatasnamakan kepentingan rakyat. Apalagi pada mereka yang tengah ber-‘amar ma’ruf nahi munkar’ untuk mereka yang sedang berkuasa dan memegang amanah rakyatnya.

Rasulullah s.a.w., dengan semangat îtsâr-nya telah menunjukkan keberhasilannya sebagai seorang pemimpin sejati, yang hingga kini masih layak dicatat dengan “tinta emas” sebagai pemimpin teladan. Sementara para sahabatnya telah menjadi generasi terbaik pada masanya, untuk bisa dijadikan sebagai “ibrah” (pelajaran) bagi semua orang yang peduli akan makna sebuah kepemimpinan yang memiliki ruh (semangat) mahabbah (cinta) dan ukhuwwah (persaudaraan) bagi semua orang. Hingga pada proses kepemimpinannya selalu menujukkan kesadaran untuk selalu “memberi”, dan bukan sebaliknya “mengemis” kepada rakyatnya untuk memiliki (kesadaran) untuk memahami dirinya dan memberikan yang terbaik untuk berbagai ragam kepentingannya.

Kita, selama ini, sebenarnya sudah tidak merasa nyaman dengan hidangan “tangis” para pemimpin yang selalu merajuk kepada rakyatnya, “meminta” (kepada seluruh komponen anak bangsa) untuk dimengerti, dan (bahkan) dibelaskasihani. Sampai-sampai para pengamat politik kita (yang masih mengedepankan nuraninya) sering menyatakan (dengan satu pertanyaan): “sampai kapan kita akan terus diajak untuk memaklumi sejumlah kebohongan yang dibalut dengan topeng-topeng retorika kejujuran?".

Saya (penulis) juga sering bertanya dengan sejumlah pertanyaan yang bersubstansi sama: “Akankah kita terjerembab dalam budaya saling memaafkan untuk sesuatu yang sejatinya sudak tidak pantas dimaafkan, seperti halnya ketika para pemimpin kita tengah terbuai dengan permainan akrobat silat-lidah yang tak pernah mengedepankan hati nurani?”

Andai saja para pemimpin kita sadar untuk menggali dan menggapai semangat îtsâr Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya dari kaum Muhajirin-Anshar, dan kemudian mewujudkannya ke dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara untuk kepentingan rakyatnya, pasti kita – rakyat Indonesia – tidak akan mengalami kekecewaan yang terus berulang dari waktu demi waktu, untuk menunggu sampai negeri kita tercinta ini memiliki: pemerintah yang bersih dan (juga) tata-pemerintahan yang baik.

Kalau Rasulullah s.a.w. (uswah hasanah kita) dan (juga) para sahabatnya bisa berbagi dengan semangat “îtsâr”, kenapa kita – sebagai umatnya — masih saja harus menunggu untuk menjadi seorang muslim dan sekelompok umat Islam yang mau mencontoh mereka?

Kini saatnya, para pemimpin segera untuk berbenah menjadi yang pertama dan utama dalam mengamalkan semangat “îtsâr”.  Menjadi pemimpin yang mampu menunjukkan “cinta” kepada rakyatnya, sebelum meminta kepada rakyat untuk mencintai, hingga rakyat pun berkesadaran untuk “mencintai” mereka, demi kejayaan bangsa dan negara kita tercinta!

Nashrun minallâh wa fathun qarîb.

*Penulis adalah Dosen Tetap FAI-UM Yogyakarta dan Dosen Luar Biasa STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta.


Baca juga :