Politisi PDI Perjuangan, Effendi Simbolon, menyebut pemerintah tidak pernah bekerja keras mencari cara sebelum berpikir dan memutuskan mencabut subsidi rakyat pada bahan bakar minyak (BBM).
"Pandangan saya pribadi, seharusnya pemerintah tidak mengambil jalan pintas bahwa seolah kalau tidak menaikkan harga BBM bersubisidi itu besok kiamat, besok gelap gulita dan tsunami," ujar Effendi Simbolon dalam diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu pagi (15/11).
Dia melihat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang notabene didukung partainya, sama sekali belum berpikir keras dan mencoba cara alternatif sebelum akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM.
"Pernah tidak mengutak-atik lebih dulu, pernah tidak renegosiasi, atau menekan cost recovery, pernahkah lakukan terobosan?" gugatnya.
Menurut dia selaku politisi dari partai yang selama 10 tahun terakhir ada di luar barisan pemerintah, pemerintah tidak pernah serius membenahi sektor energi.
"Seolah bilang ke rakyat, kalau mau pakai ya beli dengan harga pasar. Kalau tidak bisa beli tidak usah pakai," ujarnya.
Dia juga yakin, kenaikan harga BBM bersubsidi adalah awal dari liberalisasi sektor hilir migas yang mengakomodir kehadiran SPBU-SPBU asing di Indonesia. Ketika harga BBM di SPBU milik Pertamina hampir sama dengan harga BBM produksi asing, otomatis konsumen akan beralih ke produk asing.
"Ketika harga (BBM) naik, semua SPBU asing akan tertawa terbahak-bahak. Sekarang mereka tidur nyenyak. Mau ada atau ngga (konsumen) yang datang, mereka asyik saja lap-lap kaca mobil. Tapi nanti kalau harga sama, mereka tahu sofat orang Indonesia suka barang asing," katanya.
Ditegaskannya, kebijakan liberalisasi tidak cocok dengan mazhab PDIP sebagai partai pengusung Jokowi-JK.
"Kalau benar Trisakti jadi pedoman, maka lebih dulu berpikir berdaulatkah kita? Baru kita lakukan relokasi-relokasi," tegasnya. [rmol/fs]
"Pandangan saya pribadi, seharusnya pemerintah tidak mengambil jalan pintas bahwa seolah kalau tidak menaikkan harga BBM bersubisidi itu besok kiamat, besok gelap gulita dan tsunami," ujar Effendi Simbolon dalam diskusi di Warung Daun Cikini, Jakarta, Sabtu pagi (15/11).
Dia melihat pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, yang notabene didukung partainya, sama sekali belum berpikir keras dan mencoba cara alternatif sebelum akhirnya memutuskan menaikkan harga BBM.
"Pernah tidak mengutak-atik lebih dulu, pernah tidak renegosiasi, atau menekan cost recovery, pernahkah lakukan terobosan?" gugatnya.
Menurut dia selaku politisi dari partai yang selama 10 tahun terakhir ada di luar barisan pemerintah, pemerintah tidak pernah serius membenahi sektor energi.
"Seolah bilang ke rakyat, kalau mau pakai ya beli dengan harga pasar. Kalau tidak bisa beli tidak usah pakai," ujarnya.
Dia juga yakin, kenaikan harga BBM bersubsidi adalah awal dari liberalisasi sektor hilir migas yang mengakomodir kehadiran SPBU-SPBU asing di Indonesia. Ketika harga BBM di SPBU milik Pertamina hampir sama dengan harga BBM produksi asing, otomatis konsumen akan beralih ke produk asing.
"Ketika harga (BBM) naik, semua SPBU asing akan tertawa terbahak-bahak. Sekarang mereka tidur nyenyak. Mau ada atau ngga (konsumen) yang datang, mereka asyik saja lap-lap kaca mobil. Tapi nanti kalau harga sama, mereka tahu sofat orang Indonesia suka barang asing," katanya.
Ditegaskannya, kebijakan liberalisasi tidak cocok dengan mazhab PDIP sebagai partai pengusung Jokowi-JK.
"Kalau benar Trisakti jadi pedoman, maka lebih dulu berpikir berdaulatkah kita? Baru kita lakukan relokasi-relokasi," tegasnya. [rmol/fs]