Pengadaan 3 kartu sakti Jokowi, dinilai oleh 2 politisi PDI P hanya akan memboroskan keuangan negara.
"Yang terpenting adalah programnya, bukan kartunya," tekan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yang pernah digadang-gadang publik sebagai Menteri Kesehatan, Ribka Tjiptaning, di Jakarta, Sabtu 15 November 2014.
"Cukup satu kartu aja. Orang bisa sekolah ditanggung negara, kesehatan, raskin, satu aja. Kalau menurut saya, pakai KTP aja juga bisa," imbuh Ribka.
Ribka pun menggugat dana pembuatan kartu-kartu sakti tersebut dengan memberikan angka kasar, meskipun kenyataannya, angka tersebut pasti di atas perkiraan Ribka.
"Saya tidak sepakat dengan (pengadaan) semua kartu itu karena menghamburkan uang negara. Baru satu kartu untuk 400.000 (orang) saja sudah Rp 600-an juta, bagaimana kalau untuk seluruh Indonesia? Berapa miliar?" kecam Ribka.
Sebelumnya, politisi lain PDI-P, Eva Kusuma Sundari, mengatakan, pengadaan "kartu sakti" Jokowi menggunakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang telah dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Eva, Jokowi belum dapat menentukan postur anggaran karena APBN belum dapat dirombak hingga tahun anggaran berikutnya.
"APBN yang kita pakai adalah yang buatan Pak SBY. Gunakan peta-peta yang dibuat Pak SBY, kemudian dimodifikasi," ujar Eva.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, penerbitan semua kartu itu sama sekali tidak memakan anggaran negara, tetapi memakai dana program tanggung jawab sosial (CSR) sejumlah badan usaha milik negara (BUMN).
Namun, Pratikno mengatakan, penggunaan dana CSR BUMN ini hanya untuk sementara. Untuk tahun berikutnya, kata dia, pengadaan KIS, KIP, dan KKS akan dimasukkan ke dalam APBN. "Tentu saja untuk ke depan, ini akan terkait APBN. Untuk sekarang, pakai CSR BUMN," ujar Pratikno. (fs)
"Yang terpenting adalah programnya, bukan kartunya," tekan politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P) yang pernah digadang-gadang publik sebagai Menteri Kesehatan, Ribka Tjiptaning, di Jakarta, Sabtu 15 November 2014.
"Cukup satu kartu aja. Orang bisa sekolah ditanggung negara, kesehatan, raskin, satu aja. Kalau menurut saya, pakai KTP aja juga bisa," imbuh Ribka.
Ribka pun menggugat dana pembuatan kartu-kartu sakti tersebut dengan memberikan angka kasar, meskipun kenyataannya, angka tersebut pasti di atas perkiraan Ribka.
"Saya tidak sepakat dengan (pengadaan) semua kartu itu karena menghamburkan uang negara. Baru satu kartu untuk 400.000 (orang) saja sudah Rp 600-an juta, bagaimana kalau untuk seluruh Indonesia? Berapa miliar?" kecam Ribka.
Sebelumnya, politisi lain PDI-P, Eva Kusuma Sundari, mengatakan, pengadaan "kartu sakti" Jokowi menggunakan alokasi dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 yang telah dibuat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menurut Eva, Jokowi belum dapat menentukan postur anggaran karena APBN belum dapat dirombak hingga tahun anggaran berikutnya.
"APBN yang kita pakai adalah yang buatan Pak SBY. Gunakan peta-peta yang dibuat Pak SBY, kemudian dimodifikasi," ujar Eva.
Sementara itu, Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyatakan, penerbitan semua kartu itu sama sekali tidak memakan anggaran negara, tetapi memakai dana program tanggung jawab sosial (CSR) sejumlah badan usaha milik negara (BUMN).
Namun, Pratikno mengatakan, penggunaan dana CSR BUMN ini hanya untuk sementara. Untuk tahun berikutnya, kata dia, pengadaan KIS, KIP, dan KKS akan dimasukkan ke dalam APBN. "Tentu saja untuk ke depan, ini akan terkait APBN. Untuk sekarang, pakai CSR BUMN," ujar Pratikno. (fs)